Get Gifs at CodemySpace.com
funny gifsPerkuat dirimu dengan ikhtiar dan amal Teguhlah dalam sikap tak mementingkan dunia Namun jangan jadikan pengetahuan rohani sebagai tujuan Renungi dalam-dalam dirimu agar niatmu terkabul Kau adalah pancaran kebenaran ilahi Jalan terbaik ialah tidak mamandang selain Dia.

Sunday 15 July 2012

syech


Para pedagang meriwayatkan, baha selama 40 tahun Syaikh Abdul Qadir RA berada di Baghdad, tidak pernah terjadi keributan. Sepeninggal beliau, terjadi keributan di Baghdad. Demikian pula selama 40 tahun beliau tinggal di Baghdad, tidak ada orang yang kerasukan jin.
Syaikh Muhammad bin Abdillah Aby Ghana’im berkata, “ suatu hari aku dan Syaikh Abu Hasan Ali bin AL Hitti memasuki rumah Syaikh Abdul Qadir RA dan mendapatkan seorang pemuda bersimpuh ddi teras rumah beliau, dan kemudian pemuda itu memohon kepada Syaikh Ali, ‘Tuanku, mohonkan ampun aku kepada Syaikh Abdul Qadir’. Saat kami menghadap kepada sang Syaih beliau berkata, ‘ Aku berikan dia kepadamu’. Maka Syaikh Ali bersamaku keluar dari rumah beliau dan memberi tahukan hal tersebut kepada si pemuda. Si pemuda tadi kemudian bangkit dan keluar melalui jendela lalu terbang. Kami kembali masuk dan menghadap kepada Syaikh Abdul Qadir RA dan bertanyaperihal pemuda tadi. Maka beliau menjawab, “Dia adalah seorang pengelana yang terbang di udara, dengan bengga dia berkata dalam hatinya, ‘Tidak ada seorangpun di Baghdad yang menyamai aku’. ‘Maka aku cabut anugerah yang dimilikinya. Kalau saja bukan karena permintaan Syaikh Ali, maka aku tidak akan mengembalikan anugerah tersebut kepadanya’”.
Dalam riwayat lain beliau bercerita, “suatu hari di tahun 559 H berkumpulah sekitar 300 orang dalam ribath sang Syakh, di ruwaq al-hilbah. Tiba tiba beliau keluar dari dalam rumah dan menberikan isyarat agar kami semua mengikutinya masuk ke dalam rumah dengan berkata, “cepat kalian kemari, cepat kalian kemari”. Saat semua rang sudah masuk di rumah beliau, atap ribath tersebut tiba-tiba roboh. Beliau berkata, “Saat akku berada di dalam rumah, sebuah suara berkata kepadaku, “Atapnya akan runtuh sekarang”.
Syaikh Abdullah AL-Jaba’i meriwayatkan bahwa beliau pernah mendengarkan dari Abdul Azis bin Tamim Asy-Syaibani yang pernah mendengar dari Abdul Ghani bin Abdul Wahid bahwa beliau pernah menyatakan pernah mendengar dari Abi Muhammad Al Khasshab An-Nahwi berkata, “Saat aku masih pemuda dan sedang belajar nahwu, aku banyak mendengar tentang Syaikh Abdul Qadir Al Jailani dan kefasihannya berbicara. AKu ingin bertemu beliau namun waktu menjadi kendala keinginanku itu. Hingga pada suatu hari aku menghadiri majlis beliau. Saat itu beliah memalingkan wajahnya ke arahku dan berkata, ‘ Saudaraku, kami berteman dengan gurumu sibawaih ‘. Sejak saat itu aku menjadi muridnya dan banyak mendapatkan manfaat dari beliau. demikian pula dengan pemahamanku tentang kaidah-kaidah nahwu dan keilmuan lainnya baik agama maupun umum semakin mendalam. Kurang dari satu tahun mengikuti beliau aku sudah mendapatkan ilmu lebih banyak dari yang aku dapat seumur hidupku dan aku menjadi lupa akan segala sesuatu yang aku dapatkan dari selain beliau”.
Dalam riwayat lain beliau meriwayatkan, dari Syaikh Abu Hasan Ali bin Mala’ib Al-Quwaisi, beliau berkata, “Suatu saat aku bersama rombongan orang-orang bermaksud berziarah kepada Syaikh Abdul Qadir Al Jailani. Orang-orang tersebut datang dengan berbagai kepentingan untuk didoakan oleh Syaikh Abdul Qadir Al Jailani. Diantara mereka terdapat seorang pemuda bandel yang masih dalam keadaan junub dan tidak pernah bersuci dari hadast kecil. Saat tiba di hadapan beliau aku di ikuti oleh rombongan mencium tangan beliau . Ketika tiba giliran anak tersebut mencium tangan beliau, sang Syaikh menggenggam tangan anak tersebut dan memandanginya. Seketika it pula sang anak jatuh pingsan dan ketika sadar, janggut telah tumbuh di wajahnya. anak tersebut tobat dan memohon maaf kepada beliau “.
Syaikh Abu Al-Khair Kurum bin Syaikh Qudwah Mathar Al-baazaraani berkata, “Ketika Syaikh Abu Wafa’ sedang menghadapi sakaratul maut, aku bertanya kepadanya ‘Siapa yang harus aku ikuti sesudahmu ?’ Beliau menjawab, “Syaikh Abdul Qadir Al Jailani”. Aku duga jawaban beliau pada saat. itu dipengaruhi oleh penyakit beliau. Aku tinggalkan beliau sekejap dan kembali lagi menanyakan hal yang sama,. Beliaupun berkata, “Akan datang masa di mana hanya Syaikh Abdul Qadir Al Jailani yang pantas untuk di ikuti”.
Ketika beliau wafat, aku pergi ke Baghdad dan menghadiri majlis sang Syaikh. Dalam majlis beliau pada saat itu hadir Syaikh Baqa bin Bathu’ Syaikh ABu Said Al-Qalyuwi, Syaikh ALi bin AL-Hitti dan para Syaikh besar lainnya. “Aku bukan seperti penceramah kalian. Apa yang aku lakukan berdasarkan perintah Allah danapa yang aku katakan bukan untuk kalian tapi untuk orang-orang yang berada di udara” Ujar beliau dalam kesempatan tersebut sambil menegadahkan kepala beliau. Saat aku menengadahkan kepala, aku melihat barisan orang – orang yang bercahaya yang menghalangi pandanganku dengan langit. Mereka menganggukkan kepala tanda setuju. Diantara mereka ada yang menangis, ada yang bersimpuh, ada yang dipakaian mereka terdapat api. Akupun jatuh pingsan dan ketika aku sadar, aku segera menyibak orang-orang menuju kursi beliau. Saat aku mencapai kursi beliau, beliau berbisik kepadaku, ‘Kurum, tidak cukupkah apa yang dikatakan oleh ayahmu pada kali yang pertama ?’. Aku mengangguk tunduk oleh karismanya”.
Mufrij bin Syaiban bin Barakat Asy-Syaibani bercerita, “Saat Syaikh Abdul Qadir mulai terkenal di Baghdad, berkumpulah kira-kira 100 orang ahli fiqh. Mereka sepakat bahwa setiap orang akan menyiapkan sebuah pertanyaan yang mereka tidak ketahui jawabannya untuk menjatuhkan sang Syaikh. Aku berada di majlis sang Syaikh ketika mereka datang. Saat semua duduk, dari dada sang Syaikh memancarkakn cahaya yang hanya dapat dilihat oleh orang-orang yang dikehendaki Allah , cahaya itu merasuk ke dada 100 orang tersebut. Kemudian mereka berteriak, mengoyak baju dan melepaskan tutup kepala mereka lalu berebut memanjat kurswi sang Syaikh dan meletakkan kepalanya di bawah kaki sang Syaikh. Seketika seluruh orang yang ada di majlis tersebut menangis”.
Kemudian sang Syaikh mengangkat kepala mereka dan meletakkannya ke dada beliau satu persatu hingga orang terakhir. Beliau emndatangi seorang demiseorang dan menyebutkan pertanyaan yang akan ditanyakan orang tersebut kepada beliau serta jawaban dari pertanyaan tersebut.
Saat majlis bubar, aku mendatangi mereka dan bertanya, ‘ Ada apa dengan kalian ?’. Mereka berkata, ‘Ketika kami duduk, semua pengetahuan yang kami milikin hilang seakan – akan kami tidak pernah mempelajarinya. Ketika beliau memeluk kami, semua pengetahuan tersebut kembali kepada kami, berikut pertanyaan yang telah kami persiapkan untuk beliau dan jawaban atas pertanyyan tersebut’.
Abu Hajar Hamid Al-Harani Al-khatib bercerita, “Aku menghadap Saat Syaikh Abdul Qadir di Baghdad dan duduk di atas sajadah milikku. Beliau memandangku dan berkata, ‘Hamid, engkau akan duduk di permadani para raja ‘. Ketiak aku kembali ke Haran, sultan Nuruddin Asy-Syahid memaksaku untuk menemaninya. Beliau mendudukkanku di permadaninya dan memberikan otoritas untuk mengelola harta wakaf kepadaku. Saat itu aku ingat dengan apa yang dikatakan oleh Saat Syaikh Abdul Qadir .
Syaikh Zainuddin Abu Hasan Ali bin Abi Thahir bin Ibrahim bin Naja bin Ghanaim bin Al-Anshari Ad-Dimasyqi, tinggal di mesir dan seorang ahli fiqh mahdzab Hambali bercerita, “Sepulang menunaikan ibadah Haji, aku dan seorang temanku singgah di Baghdad. Kami belum pernah itnggal di baghdad sebelum ini, tidak memiliki kenalan dan tidak memiliki apa-apa kecuali sedikit barang yang akan kami tukarkan dengan bathshut / sejenis makanan ditambah sedikit nasi yang kami beli. ternyata makanan tersebut belum membuat kami kenyang. Kemudian kami emndatangi majlis Saat Syaikh Abdul Qadir. Saat kami masuk, beliau menghentikan ceramahnya dan menoleh ke arah kami seraya berkata, “Orang-orang asing yang miskin datang dari hijaz dan hanya memiliki sebuah barang yang ditukarkan dengan bathsut serta sedikit nasi. Ternyata makanan tersebut belum dapat mengenyangkan mereka”.
Selagi kami takjub dengan apa yang beliau katakan, beliau memerintahkan kepada pelayannya untuk menyiapkan hidangan. Ketika itu aku berbisik kepada temanku, ‘Apa yang engkau inginkan ?’. kisyk dengan ayam’. jawabnya. ‘kalau aku yang aku inginkan adalah madu’ sambungku. Tiba-tiba beliah berkata kepada pelayannya, ‘Hidangkan kepada kami kiyk dengan ayam dan madu”. Para pelayan beliau menghidangkan makanan tersebut dan meletakkan kisyk dengan ayam di kakiku, dan madu di hadapan temanku. Beliau berkata kepada pelayannya, “Tukar posisi makanan tersebut baru engkau benar”‘.
Kejadian tersebut membuatku tak dapat menguasai diri. Aku bangkit, berteriak dan berjalan di antara punggung para hadirin menuju ke arah beliau. beliauberkata kepadaku, “Selamat datang penasihat dari mesir, “. “Tuanku, bagaimana hal tersebut dapat terjadi padaku, membaca al-fatihah saja aku belum benar”. Beliau menjawab, “Aku diperintahkan Allah untuk menyampaikan pernyataan tersebut kepadamu”.
Setelah itu, selama setahun aku menuntut ilmu kepada beliau, dan terbukalah pengetahuan dan wawasan yang belumpernah aku dapatkan selama 20 tahun menuntut ilmu. Saat aku memohon ijin untuk kembali, beliau berkata kepadaku, “Nanti setibanya di Damaskus engkau akan berjumpa dengan pasukan perang yang ingin menguasai mesir, katakan kepada mereka, “Kalian tidak akan dapat memasuki mesir pada saat ini, sebaiknya kalian pulang dan kembali lagi maka kalian akan menguasainya”.
setibanya di Damaskus, aku menemukan semua yang dikatakan sang Syaikh kepadaku. Akupun menyatakan kepada pasukan tersebut apa yang dikatakan sang Syaikh kepadaku namun mereka tidak menerimanya. Kemudian, aku memasuki mesir, aku mendapati khalifahnya sedang ber siap-siap menyambut mereka, aku berkata kepadanya, “Jangan takut mereka akan lari tungang langgang”. Dan ketika pasukan tersebut tiba di mesir, mereka dapat dikalahkan. Setelah itu khalifah menjadikanku teman duduknya dan mendudukkanku di singga sananya”.
Kemudian, pasukan tersebut datang untuk yang ke dua kalinyadan kali in mereka dapat merebut Mesir. Mereka sangat menghormatiku karrena perkataan yang aku sampaikan kepada mereka di Damaskus. Berakt satu kalimat dari Syaikh Abdul Qadir Al-Jailani RA aku mendapatkan 150.000 dinar dari kedua negara tersebut.
Diriwayatkan bahwa Syaikh Zainuddin yang meriwayatkan kisah di atas hanya hafal satu kitab tafsir ketika memasuki mesir. Namun beliau diterima oleh rakyat Mesir, dari golongan biasa maupun yang elit. Salah satu ulama hadis di mesir mengadakan majlis untuknya yang kemudian banyak dikunjungi orang. beliau meninggal dunia pada bulan Ramadhan 599 H dan lahir di Damaskus tahun 508 H.
Syaikh Ahmad bin Shaleh AL-Jilli meriwayatkan bahwa pada suatu ketika, Syaikh Abdul Qadir sedang memberikan pelajaran tentang Qadha dan Qadar di hadapan para shufi dan ahli fiqih. Jatuhlah seekor ular besar yang membuat semua orang berlarian. Kemudian ular tersebut menyelinap ke dalam baju beliau lalu melata ke seluruh badan hingga kepala beliau. Setelah ular tersebut turun dari badan beliau, ular itu menegakkan kepala dan mendesis. Beliau kemudian berbicara dengan ular tersebut dengan bahasa yang tidak kami pahami. Dan ular tersebut pergi.
Kami bertanya kepada beliau apan yang dikatakan ular tersebut kepada beliau dan apa yang beliau ucapkan kepada ular itu. Beliau berkata, “Ular tersebut berkata kepadaku, ‘Banyak wali yang telah aku coba dan belum pernah aku jumpai yang sepertimu”. Aku berkata kepadanya, Saat engkau jatuh dari atap, aku sedang berbicara tentang qadha dan qadar Aku sadar bahwa engkaupun hanya seekor hewan melata yang digerakkan oleh Qadha dan Qadar dan oleh karenanya aku tidak ingin melawannya”.
Syaikh AbdurRazak bin Syaikh Abdul Qadir Al-Jailani RAmeriwayatkan bahwa ayahnya Syaikh Abdul Qadir Al-Jailani RA pernah bercerita, “Pada suatu saat aku sedang melaksanakan shalat di masjid Al-Manshur. Aku mendengar suara mendesis di dinding di belakangku. Ternyata seekor ular besar dating dan membuka mulutnya di sujudku. Ketika sujud, aku singkirkan ia dengan tanganku. Saat aku duduk tasyahud, dia melata di pahaku lalu melilit leherku. Saat aku mengakhiri shalatku, aku tidak dapat menemukannya.
Keesokan harinya aku mendapati seorang pria dengan kedua mata yang saling berjauhan di tempat khalwat di belakang masjid. Seketika itu aku mengetahui bahwa dia adalah seorang jin. Dia berkata kepadaku, “Aku adalah ular yang engkau lihat tadi malamtelah banyak wali yang aku coba sebagaimana yang aku lakukan terhadap dirimu. Dianytara mereka ada yang tergetar takut baik zahir maupun bathin. Ada pula yang hanya bathinnya saja yang merasa takut sdangkan zahirnya tetap tegar. Tapi aku melihatmu tetap tegar baik zahir maupun bathin. ‘kemudian aku memintanya untuk bertobat dan dia bertobat di tanganku’”.
Al-Khidr Al-husaini Al-Maushuli berkata, “Selama 13 tahun melayani Syaikh Abdul Qadir aku banyak menyaksikan peristiwa supranatural. Diantaranya adalah jika ada orang yang sakit, beliau akan mendatanginya dan mendoakannya seraya menyapukan tangan beliau ditempat yang sakit. Tidak lama kemudian orang tersebut sehat seperti sedia kala”.
Kemudian suatu hari salah satu saudara Sultan Al-Mustanjid mendatangi beliau dengan perut menggelembung. Beliau sapukan tangannya dan perut tersebut kembali seperti semula.
Di lain hari, Abu Ma’ali Ahmad Al-baghdadi Al-Manbali mendatangi beliau dan mengadukan perihal anaknya yang sudah 15 bulan tidak berhenti demam. Sang Syaikh berkata kepadanya, “bisikkan di telinganya, “Wahai ummu maldum, Syaikh Abdul Qadir menitipkan pesan kepadaku untukmu agar engkau pergi dari tubuh anakku, kembali ke tempat asalmu”. Beliau melakukan apa yang diperintahkan sang Syaikh dan anaknya seketika sembuh. Beberapa tahun kemudian kami bertanya kepada beliau tentang anaknya, dan beliau menjawab, ‘dia tidak pernah kembali ke Baghdad”. Kemudian ada yang mengabarkan bahwa banyak orang di tempat jin tersebut yang menderita sakit panas “.
Diriwayatkan bahwa pada suatu ketika Syaikh Hasan Ali Al-Arji menderita sakit. Syaikh Abdul Qadir dating menjenguknya dan mendapati bahwa beliau memiliki ayam jantan dan ayam petelur. “Tuanku, ayam ini (sambil menunjuk kepada ayam jantan) sudah 6 bulan tidak pernah berkokok. Sedangkan yang ini, (sambil menunjuk kepada ayam petelur) sudah 6 bulan tidak pernah bertelur.” Syaikh Abdul Qadir kemudian berdiri di depan ayam petelur dan berkata , “senangkan pemilikmu”. Kemudian ia berkata kepada ayam jantan, “Bertasbihlah untuk tuanmu”. Seketika itu juga sang ayam bertelur, dan si pejantan berkokok dengan sangat keras hingga terdengar ke seantero Baghdad karena berkah Syaikh Abdul Qadir.
Pada tahun 560 H beliau berkata kepada Khidr Al-Maushuli, “khidr, aku pergi ke Maushul dan mendapati engkau dengan seorang anak laki-laki di punggungmu bernama Muhammad yang nanti akan belajar Al-Qur’an kepada seorang buta bernama Ali. Setelah 7 bulan hafalannya menjadi sempurna dan saat itu anakmu berumur 7 tahun. Engkau akan hidup sampau umur 94 tahun 1 bulan dan 7 hari dan akan meninggal di Arbal dan keadaanmu selalu sehat wal afiat. “ Kemudian anaknya Abu Abdillah Muhammad bercerita, “Ayahku tinggal di Moshul hingga aku lahir sebagai anak pertama pada bulan safar tahun 561 H. jemudian ayahku mengundang seorang buta yang menghafal AL-Qur’an dengan baik untuk mengajariku Al-Qur’an. Ketika ayahku bertanya tentang nama dan asalnya, orang buta tersebut menyatakan bahwa namanya Ali dan berasal dari Baghdad. Saat itulah dia menceritakan pernyataan Syaikh Abdul Qadir. Beliau meninggal di Arbal, 9 safar 625 H dalam usia 94 tahun 1 bulan 7 hari. Dan Allah berkenan menjaga kondisi fisiknya sampai beliau meninggal dunia”.
Umar bin Mas’ud Al-Bazar berkata,”Aku menyaksikan sendiri kedalaman pemahaman sang Syaikh tentang hakikat. Kesempatan tersebut aku dapatkan ketika seorang muridnya berkata kepada orang-orang bahwa ia telah melihat Allah dengan mata kepala sendiri. Mendengar hal tersebut sang Syaikh memanggil si murid dan menanyakan hal tersebut dan dibenarkan oleh si murid. Sang Syaikh kemudian melarang si murid mengulang perbuatannya. Kemudian seseorang bertanya kepada beliau, apakah yang dinyatakan oleh si murid dapat dibenarkan atau tidak.” Syaikh Abdul Qadir menjawab, “Dia benar (karena) hal tersebut disebabkan karena dia menyaksikajn dengan mata hatinya (bashirah), sedangkan pancaran mata bathinya tersebut terhubung dengan cahaya matanya sehingga ia menduga matanyalah yang melihat apa yang disaksikan mata bathinnya. Padahal apa yang dilihat oleh matanya adalah mata bathinnya (bashirah) dan hal tersebut tidak disadari olehnya. Allah berfirman, “Dia membiarkan dua lautan mengalir yang keduanya kemudian bertemu, antara keduanya ada batas yang tidak dilampaui oleh masing-masing”. Sesungguhnya melalui tangan ke-Maha lembutanNya, Allah SWT sesuai kehendakNya menurunkan cahaya-cahaya keagungan dank ke elokanNya ke dalam Qalb seorang hamba yang akan memunculkan suatu gambaran. Di belakang semua itu terdapat tirai ke-Maha Besaran Allah yang tidak dapat dikoyak”.
Pada saat itu para ulama yang hadir terpesona dan kagum dengan kefasihan sang Syaikh menguraikan kondisi spiritual yang dialami oleh orang tersebut.”
Syaikh Muammar Al-Jaradah meriwayatkan, “pada suatu hari di rumah sang Syaikh, beliau sedang duduk ketika tiba-tiba tanah jatuh dari atapnya dan mengenai beliau. Beliau hanya mengibaskan tanah tersebut tanpa berkomentar. Kejadian tersebut berulang hingga tiga kali. Ketika hal tersebut terjadi untuk yang ke empat kalinya, beliau mendongakkan kepala dan mendapatin seekor tikus yang melakukan itu semua. ‘terbang kepalamu’ kata sang Syaikh kepada tikus tersebut dan seketika itu pula tikus tersebut jatuh dengan kepala terpisah dari badannya. Beliau kemudian bangkit dari duduknya sambil menangis. ‘Apa yang membuatmu menangis wahai sang syaikh ?’ Beliau menjawab, “Aku takut suatu saat seorang muslim menyakiti hatiku dan menerima seperti yang diterima oleh tikus ini”.
Syaikh Umar bin Mas’ud Al-Bazar berkata, “Pada suatu hari Syaikh Abdul Qadir hendak berwudhu. Tiba-tiba seekor burung mengotori beliau dengan kotorannya. Kemudian beliau mendongakkan kepala ke atas dan burung tersebut kemudian jatuh dan mati. Ketika selesai berwudhu, beliau mencuci daerah yang terkena kotoran tersebut, melepasnya dan meyerahkannya kepadaku untuk dijual, dan hasilnya disedekahkan seraya berkata, “ini. Untuk yang ini”. Maksudnya sedekah tersebut untuk menebus burung yang telah mati.
Abu fadhal Ahmad bin Qasim bin Abdaan Al Quraisyi Al-Baghdadi Al Bazzaar berkata, “Syaikh Abdul Qadir biasa memakai pakaian yang mahal. Pada suatu hari salah seorang pembantunya mendatangiku dan membawa uang serta berkata, ‘aku ingin kain yang satu dzira’nya seharga 1 dinar’. Akupun memberikan apa yang diminta pelayan tersebut seraya bertanya, “Buat siapa kain itu?” ‘Untuk sang Syaikh’ jawab pelayan itu. Aku berkata dalam hati, “sang Syaikh sampai tidak meninggalkan kain untuk khalifah”.
Saat itu pula sebatang paku menancap di kakiku dan sakitnya luar biasa. Orang-orang dating dan berkumpul dan mencoba untuk melepaskan paku tersebut dari kakiku namun mereka tidak dapat melakukannya. ‘Bawa aku kepada Syaikh Abdul Qadir’ .kataku kepada mereka. Merekapun membawaku kepada sang Syaikh. Ketika aku berada di hadapannya, beliau berkata kepadaku, ‘Abu Fadl, mengapa engkau mencemoohkanku ?. demi keagungan yang aku sembah, aku tidak akan memakainya sampai Ia berkata kepadaku ‘Demi hakKu atas dirimu, kenakan pakaian seharga 1 dinar perdzira’nya. Ini, kain kafan lebih baik daripada kain tersebut sebanyak 1000 kali kehidupan”. Lalu beliau mengusap kakiku dengan tangan beliau yang penuh berkah seketika itu pula paku dan rasa sakit tersebut hilang. Demi Allah aku tidak mengetahui dari mana paku teesebut berasal dan kemana perginya. Yang aku tahu paku itu telah ada di kakiku. Saat aku berdiri, beliau berkata, “Barang siapa yang muncul umpatannya atas diriku, maka akanmendapatkan cobaan berbentuk paku”.
Ibnu Khidir Al-husaini bercerita, “pada suatu malam, pelayan sang Syaikh bermimpi basah sebanyak 70 kali dengan perempuan yang pernah dikenal maupun tidak pernah dikenal. Keesokan harinya ia mengadukan hal tersebut kepada Syaikh Abdul Qadir. Sang Syaikh berkata kepadanya, ‘jangan engkau keluhkan mimpi basahmu tadi malam. Aku melihat namamu di lauh mahfudz dan menemukan di dalamnya bahwa engkau berzina sebanyak 70 kali dengan si ..A…B….C sang Syaikh terus menerus menyebutkan satu persatu nama-nama yang dikenalnya dan tidak dikenalnya. Kemudian sang Syaikh berkata, ‘Aku memohon kepada Allah agar memindahkannya dalam tidurmu”’.
Syaikh Ali AL-Khabbas meriwayatkan bahwa dia pernah mendengar Syaikh Abu Qasim Umar berkata, “Barang siapa yang memohon pertolongan kepadaku pada saat kesusahan maka aku akan mengangkat kesusahan tersebut. Barang siapa yang memanggil namaku saat sedang terjepit maka aku akan membebaskannya dan barang siapa yang bertawasul denganku kepada Allah untuk suatu keperluan maka Allah akan memenuhi hajatnya. Kemudian barang siapa yang shalat dua rekaat dan pada setiap rekaat membaca Al-Ikhlas sebanyak 11 kali kemudian bershalawat sebanyak 11 kali setelah salam kemudian mengucapkan salam kepadaku dan menyebut namaku sebelum ia menyebutkan hajatnya, maka Insya Allah hajatnya akan dikabulkan oleh Allah’. Dalam riwayat lain disebutkan ‘berjalan 11 langkah menuju kea rah kuburanku lalu menybutkan hajatnya Insya Allah hajatnya akan terkabul’.
Al-Jaba’I berkata, “kepada setiap orang yang datang kepadanya membawa emas sang Syaikh selalu memintanya untuk meletakkan emas tersebut di bawah sajadahnya. Beliau tidak pernah menyentuhnya. Saat pelayannya datang beliau berkata kepadanya, “pergi dan belikan roti dan lauk’. Ketika datang jubah kebesaran yang diberikan khalifah kepadanya, beliau berkata, “Berikan kepada Abu Fadhal Ath-Thahhan sebab beliau mengambil tepung dengan jalan berhutang untuk para fakir dan tamunya. Sebab itulah orang tidak pernah melihat beliau memakai jubah yang diberikan khalifah kepadanya setiap bulan karena selalu diberikan kepada Ath-Thahan”.
Al-Khidr Al-Husaini berkata, “pada suatu Jum’at aku sedang berada bersama sang Syaikh di masjid. Kemudian datanglah seorang pedagang membawa uang dan berkata kepada beliau, ‘Aku ingin membagi-bagikan uang ini kepada orang yang berhak, dan aku tidak mendapatkan orang yang berhak mendapatkannya. Perintahkan kepadaku siapa yang berhak aku berikan. Dang Syaikh berkata kepada orang tersebut, “Berikan kepada golongan yang berhak menerimanya dan yang tidak berhak menerima sedekah tersebut”.
Diriwayatkan, beliau melihat seorang faqir yang sedang bersedih. “Apa yang sedang terjadi padamu ?” tanya sang Syaikh kepadanya. Si faqir tersebut menjawab, “Pada suatu hari aku berjalan di tepi sungai. Kemudian aku meminta kepada pemilik perahu untuk menyeberangkanku ke tepi lainnya, namun dia menolak. Saat itu ahtiku sedih mengingat kemiskinanku’. Tepat setelah si faqir menyelesaikan ceritanya, seorang pria datang membawakan bungkusan berisi 30 dinar yang dinazarkannya untuk sang Syaikh. Sang Syaikh mengambil bungkusan tersebut dan berkata kepada si faqir, “Ambil bungkusan ini dan pergi ke pemilik perahu. Katakan kepadanya bahwa engkau tidak lagi orang yang miskin”. Kemudian Syaikh melepaskan pakaiannya dan memberikannya kepada si faqir yang kemudian dibeli seharga 20 dinar.
Abu Yasar bin Abdurrahim berkata, “Abdus-Shamad bin Hammam seorang yang kaya raya merupakan orang yang sangat membenci Syaikh Abdul Qadir dan menolak semua karamah yang diceritakan kepadanya. Namun kemudian ia menjadi orang yang membaktikan dirinya kepada sang Syaikh. Setelah sang Syaikh meninggal, aku bertanya kepadanya faktor apa yang menyebabkan perubahan tersebut. Beliau bercerita, ‘Pada suatu hari aku melewati madrasah sang Syaikh dan waktu shalat Ashar telah tiba sehingga aku teropaksa shalat di madrasah beliau. Karena ketidaksenanganku, akupun masuk dengan niat segera keluar setelah mengerjakan shalat. Aku mendapati sebuah tempat kosong di sebelah mimbar tempat sang Syaikh memberikan pengajian. Aku tidak menyadari bahwa hari itu adalah hari Jum’at dan orang-orang semakin banyak berdatangan untuk menghadiri pengajiannya dan membuatku tidak dapat bergerak dari tempatku sedangkan aku dalam kondisi ingin sekali ke kamar kecil untuk buang hajat. Kemudian sang Syaikh naik ke atas mimbar dan aku sudah hampir tidak dapat menahannya. Saat itu kebencianku kepada beliau berlipat ganda. Aku membayangkan diriku buang hajat di dalam pakaian, orang-orang menghinaku dan dari dalam tubuhku akan tercium bau busuk. Aku lebih memilih mati daripada berada dalam kondisi tersebut. Saat aku sedang memikirkan nasibku, sang Syaikh turun beberapa tangga dan menyelimuti kepalaku dengan serbannya. Seketika itu aku melihat diriku berada di sebuah taman di gurun dengan air yang mengalir. Akupun melepaskan hajatku, berwudhu dan shalat dua rekaat di tempat tersebut. Kemudian sang Syaikh mengangkat serbannya dari kepalaku,dan aku mendapati diriku berada di sebuah mimbar tempatku semula, dalam kondisi yang lapang. Aku sangat takjub pada saat itu dan aku mendapati diriku dalam keadaan basah bekas air wudhu. Ssaat itu aku merasa bingung dengan apa yang aku alami.
Dalam perjalanan pulang seusai majlis tersebut, aku mendapati sapu tangan dan kunci brankasku hilang. Aku kembali ke tempatku tadi dan mencari kedua benda tersebut dan tidak dapat menemukannya. Aku pulang ke rumah, dan memanggil tukang kunci karena pada saat itu aku sedang tergesa-gesa untuk melakukan perjalanan keluar Iraq untuk suatu urusan. Keesokan harinya aku keluar dari Baghdad.
Pada hari ke tiga perjalanan tersebut aku melewati suatu daerah oase dengan air yang mengalir. Salah seorang teman seperjalananku berkata, “Apakah ridak sebaiknya kita berhenti sebentar di sini, beristirahat dan shalat serta makan, karena setelah ini kita tidak akan mendapatkan oase”. Akupun turun dari tungganganku dan mendapati bahwa tempat inilah yang aku lihat di majlis sang Syaikh. Akupun berwudhu dan menuju tempat di mana aku melaksanakan shalat. Di tempat tersebut aku mendapatkan sapu tangan dan kunci brankasku. Akupun memutuskan membatalkan perjalananku dan kembali ke Baghdad karena yang ada dalam pikiranku adalah selalu berdekatan dengan Syaikh Abdul Qadir RA. Aku tidak pernah menceritakan hal ini karena aku kira orang yang mendengarnya tidak akan percaya”. Aku berkata kepadanya, ‘Orang yang menceritakan hal seperti ini tidak akan pernah id cela,’ Kataku kepadanya. Dia berkata, ‘Aku tidak perlu menceritakan hal tersebut kepada orang-orang , aku telah mencereitakannya kepad orang yang tidak aku ragukan kejujuran dan keadilannya’. Lalu tidak pantaskah aku tidak mempercayai orang seperti ini’. Allah menghendaki kebaikan atas dirimu’. Kataku kepadanya. Dia berkata, Aku bersyukur kepada Allah karena tidak meninggal dalam keadaan sebelum ini”’.
Syaikh Muhammad bin Qaid Al-Awani meriwayatkan, “Pada suatunketika seorang perempuan datang membawa puteranya ke hadapan sang Syaikh. Ibu tersebut berkata kepada sang Syaikh, ‘Aku melihat hati anakku telah terikat kepada anda. Aku sekarang serahkan hakku atas dirinya untuk Allah lalu kepada anda’. Sang Syaikh kemudian menerima putera perempuan tersebut dan memerintahkannya bermujahadah dan emngikuti jalan para Salaf As-Shalih.
Suatu hari sesudah itu sang ibu mengunjungi anaknya dan mendapati sang anak dalam kondisi kurus karena kurang makan dan terlalu banyak begadang. Dia melihat sang anaka hanya memakan roti gandum kelas dua. Kemudian ia mengunjungi sang Syaikh dan mendapati sang Syaikh telah memegang piring dengan sisa-sisa tulang ayam di atasnya. Sang ibu berkata kepada sang Syaikh, ‘Yaa Syaikh, anda makan dengan lauk ayam, sedang anakku hanya makan gandum kelas dua’.
Sang Syaikh meletakkan tangannya di atas tulang-belulang tesebut dan berkata, “Bangkitlah dengan ijin Allah yang membangkitkan tulang belulang yang telah berserakan’. Seketika itu pula hiduplah ayam jantan tersebut seraya berdiri dan berkokok dengan mengucapkan kalimat Laa Ilaaha illaLlaah MuhammadarrasuuluLlah Syaikh Abdul Qadir WaliyuLlah”. Kemudian sang Syaikh berkata, ‘Apabila anakmu sudah mampu seperti ini, maka bolehlah ia makan sekehendaknya’.
Telah terjadi konsensus di antara para ulama ditambah dengan berbagai kitab yang menyatakan interaksi para elit wali di dalam kubur mereka bagaikan orang yang masih hidup hingga hari kiyamat, karena keestimewaan yang dianugerahkan Allah kepada mereka. Di antara mereka adalah Syaikh Al-Imam Abdul Qadir Al-Jilly, Syaikh Al-Kabir Ad-Diryaq Al-Mujarrab Ma’ruf bin Mahfudz bin Fairuz bin Al-Mirzaban Al-Kharqi, Syaikh Wasil Ar-Rahilah Aqil Al- Munbaji, Syaikh Al-Kamil Hayyan bin Qaais Al-Harani. Begitu pula dengan keempat orang kerua para wali ini yang diberi kemampuan menghilangkan kusta, menyembuhkan kebutaan dan menghidupkan orang mati dengan ijin Allah mereka adalah para Qutb dan Al-Ghauts Begitu pula dengan Syaikh Muhiyyuddin Abdul Qadir Al-Jailany, Syaikh Al-Kabir Sayyid Ahmad Ar-Rifa’i, Syaikh Ali bin Al-Hitti, Syaikh Qudwah As-ShalihBaqa’ bin Bathu’ RA. Termasuk di dalamnya para pemuka suluk yang empat yaitu Syaikh Kamil Al-Maushuli, Maslamah bin Ni’mah AS-Saruuji, Syaikh Al-‘Arif Al-Murabbi Hammad bin Muslim Ad-Dabbas, Syaikh Al Hujjah Al-Mulhiq Al-Ashagir wal Akaabir Tajul ‘Arifiin Abu Wafa’ Muhasmmad Kaakis, Syaikh Al-‘Abid Az-Zahid Al-Mujaahid Uday bin Musafir, semoga Allah memberikan berkah dan manfaat dari mereka di dunia dan di akhirat.
Syaikh Ali Al-Khabbas meriwayatkan bahwa ia pernah mendengar dari Syaikh Abu Hafs Al-Kaimani, “Pada suatu malam saat aku berada di tempat khalwatku tiba-tiba dindingnya terkoyak dan masuklah seseorang dengan tampang menakutkan. ‘Siapakah engkau,’ Tanyaku. Dia menjawab,’Aku iblis, datang untuk menasehatimu’. ‘Apa nasihatmu ?’ Tanyaku. Aku ingin mengajarimu duduk murqabah ‘katanya sambil melakukan duduk sebagaimana duduk tasyahud awal (qarfasha), dengan kepala menunduk melihat bumi. Pagi harinya aku menemui Syaikh Muhiyyudin Abdul Qadir untuk menceritakan peristiwa tersebut kepada beliau. Ketika aku berjabat tangan dengan tangannya, beliau menggenggam tanganku dan berkata, “Engkau benar dan dia pembohong. Jangan pernah engkau menerima apapun darinya’. Padahal aku belum menceritakan hal tersebut kepada beliau’.
Sayikh Badi’uddin Khalf bin ‘Ayyash Asy-Syari’ Asy-Syafi’i bercerita, “Oleh Syaikh madzhab Syafi’i waktu itu, Syaikh Abu Umar dan Syaikh Utsman As-Sa’adi, aku diperintahkan untuk pergi ke Baghdad dan membawa sebuah salinan kitab Musnad Ahmad bin Hanbal. Sesampai di Baghdad, aku menemukan penduduk Baghdad selalu menyebutkan nama Syaikh Abdul Qadir Al-Jailani RA. Aku berkata dalam hati, ‘Jika orang ini memang seperti yang dikatakan orang-orang, dia akan mengetahui apa yang aku khayalkan dalam diriku’. Kemudian aku mulai mengkhayalkan peristiwa yang tidak biasanya terjadi. Aku berkata dalam hati, ‘Aku ingin ketika beliau masuk dan aku mengucapkan salam kepada beliau, maka beliau tidak akan menjawab salamku dan membuang muka. Kemudian beliau akan berkata kepada pelayannya, bawakan kepada kami kurma sebanyak satu qir’ah dan sayur mayur sebanyak 2 daniq untuk orang ini, tidak lebih dan tidak kurang’. Dan aku mengkhayalkan lagi, ketika kurma tersebut beradadi tangan beliau, makan beliau akan memakaikan thaqiah (semacam topi) sebelum aku melakukan hal tersebut, kemudian beliau menjawab salamku”.
Setelah itu aku berangkat mendatangi madrasahnya dan mendapati beliau sedang duduk di mihrab. Saat beliau memandangku, terbetik dalam hatiku bahwa beliau mengatahui apa yang ada di dalam hatiku. Akupun mengucapkan salam dan beliau tidak membalasnyamalah memalingkan wajahnya dariku dan berkata kepada pelayannya, ‘bawakan kepadaku kurma sebanyak satu qir’ah dan sayur mayur sebanyak dua daniq untuk orang ini tidak kurang dan tidak lebih’. Ketika pelayannya datang membawakan apa yang beliau minta, beliau mengambil thaqiahku dan mengisinya dengan kurma dan sayur mayur kemudian mengenakannya di kepalaku lalu menjawab salamku. Setelah itu beliau berkata, ‘inikah semua yang engkau inginkan ?’. sejak saat itu aku menimba ilmu dari beliau dan mengambil hadits dari beliau.
Syaikh Badi’uddin Abu Abbas Ahmad bin Ahmad Al-Bandanijji berkata, “Suatu ketika aku dan Syaikh Jamaluddin Al-Jauzi manghadiri majlisnya. Seorang qari’ membacakan sebuah ayat dan kemudian sang Syaikh memberikan tafsir atas ayat tersebut. Aku berkata kepada Syaikh jamaluddin “Apakah engkau telah mengetahui tafsir ayat ini ?” ‘Ya’ Jawabnya. Kemudian beliau menyebutkan 11 tafsir atas ayat tersebut dan setiap kali aku bertanya kepada Syaikh Jamaluddin apakah dia telah mengetahui tafsir tersebut, maka beliau selalu menjawab’Ya’. Setelah itu Syaikh Abdul Qadir menyebutkan tafsir lainnya hingga mencapai 40 tafsir atas ayat tersebut sambil menyebutkan sumbernya dan tak satupun dari tafsiran tersebut yang diketahui oleh Syaikh Jamaluddin. Hal tersebut membuatnya sangat takjub dengan keluasan ilmu Syaikh Abdul Qadir. Kemudian ia berkata, ‘Mari kita tinggalkan berkata-kata dan kembali kepada kondisi Laa Ilaaha illaLlaah MuhammadarrasuuluLlah’. Orang-orangpun gempar dan Syaikh Jamaluddin menyobek-sobek pakaiannya.”
Muhammad bin Husain Al-Maushuli berkata, “Aku pernah mendengar dari ayahku bahwa Syaikh Abdul Qadir mengajarkan 13 cabang keilmuandalam majlisnya. Beliau mengingat adanya pelajaran dari madzhab dan pelajaran antar madzhab. Pada siang hari beliau mengajar tafsir, fiqih mazhab Hanbali, perbandingan mazhab, ushul dan nahwu. Setelah dzuhur beliau membaca Al-Qur’an dengan berbagai qira’at.
Umar Al-Bazaar berkata, “permohonan berbagai fatwa datang kepada beliau dari Iraq dan dari luar Iraq. Akmi tidak pernah melihat beliau mendiamkan permintaan fatwa yang datang kepada beliau atau memikirkannya. Beliau langsung menulis fatwa yang diminta setelah membaca kasusnya. Beliau mengeluarkan fatwa berdasarkan mazhab dua Imam yaitu Imam Syafi’i dan Imam Ahmad bin Hanbal. Dan ketiak fatwanya disebarkan, para ulama Iraq terkagum-kagum dengan kecepatan beliau menjawab persoalan yang diajukan. Mereka yang menekuni cabang-cabang keilmuan syari’ah pun menjadikan beliau sebagai rujukan”.
Syaikh Abdurrazaq berkata, “Sebuah persoalan datang dari luar Iraq dan tak seorangpun ulama Iraq yang mampu memberikan jawaban yang memuaskan. Persoalan yang berkenaan dengan sumpah seorang pria yang mengharuskan dia melakukan ibadah yang hanya dilakukannya sendiri ketika melaksanakannya. Ketika persoalan tersebut sampai ke tangan ayahku, beliau menulis agar orang tersebut mendatangi makkah, mengosongkan tempat tawaf dan melakukan thawaf. Maka gugurlah sumpahnya. Malam itu pula yang meminta fatwa langsung emninggalkan Baghdad menuju Makkah.
Muhammad bin Abi Abbas Al-Khidr Al-husaini Al-Maushuli meriwayatkan bahwa ia pernah mendengar ayahnya berkata, “Tahun 551 H dalam tidur aku bermimpi para Syaikh besar berkumpul di suatu tempat yang luas di madrasah Syaikh Abdul Qadir. Diantara mereka ada yang hanya mengenakan serban, ada pula yang mengenakan serban dan selendang di atasnya, ada pula yang mengenakan dua selendang di atasnya. Dan di atas lilitan serban Syaikh, terdapat tiga helai selendang. Dalam mimpi tersebut aku memikirrkan makna tiga helai selendang tersebut. Ketika aku bangun aku menemukan jawabannya, sehelai selendang merupakan penghormatan terhadap ilmu syari’at, helai lainnya merupakan penghormatan terhadap ilmu hakikat, dan helai terakhir merupakan penghormatan untuk beliau”,
Syaikh Abu Barakat Shakr bin Shakr bin Musafir menyatakan bahwa setiap wali pada zamannya disumpah untuk tidak menceritakan kondisi spiritualnya baik zahir maupun bathin kecuali atas ijinNya. Beliau adalah yang dianugerahi ijin untuk berbicara di hadapan Allah dengan izin-Nya. Dan beliau adalah orang yang diberi otoritas untuk berinteraksi dengan alam setelah meninggal dunia maupun sebelum beliau meninggal dunia.
Syaikh Ali bin Al-Hitti berkata,”aku dan Syaikh Baqa bin Bathu’ bersama Syaikh Abdul Qadir menziarahi makam Imam Ahmad bin Hanbal. Aku menyaksikan beliau keluar dari kuburnya, memeluk Syaikh Abdul Qadir, mengenakan jubah kepada beliau seraya berkata, ‘’ Syaikh Abdul Qadir, orang-orang akan merujuk kepadamu dalam ilmu syariah, hakikah dan tasawuf’”.
Di lain riwayat beliau berkata, “Aku dan Syaikh Abdul Qadir mengunjungi makam Syaikh Ma’ruf Al-Kharqi RA . setibanya di makam, beliau berkata, Assalamu’alaika Yaa Syaikh Ma’ruuf Al Kharqi “. Dari dalam kubur terdengar suara , ‘Wa alaika salam Yaa Ahli zamannya’”./
Abu Nadzar bin Umar Al-Baghdadi Al-Mutsanna yang dijuluki dengan Ash-Shahrawi menyatakan bahwa ia pernah mendengar ayahnya berkata, “Pada suatu ketika aku memanggil bangsa Jin. Para jin tersebut menjawab panggilanku lebih lamban dari pada biasanya dan mereka berkata kepadaku, ‘Jangan lagi engkau memanggil kami saat Syaikh Abdul Qadir memberikan ceramah’.
‘Apa sebabnya ?’
‘Kami juga menhhadirinya’
‘Kalian juga menghadirinya ?’ tanyaku.
‘Yaa, bahkan jumlah kami dalam majlis beliau jauh lebih banyak daripada manusia yang hadir. Di tangan beliau banyak diantara kami bertobat dan masuk islam’. Jawab sang jin.
Syaikh Abu Faraj Ad-Daurabah, Syaikh Abdul Karim Al Atsari, Syaikh Yahya Ash-Sharshari dan Syaikh Ali bin Muhammad As-Sahrabati meriwayatkan saat mereka berada di bersama Syaikh Idris Al-Ya’qubi tahun 610 H, datanglah Syaikh ‘Umar Al-Muridiyang idkenal dengan nama Turbadah.
“Ceritakan kepada kami apa yang engkau lihat”. Pinta Syaikh Ali bin Idris.
“Dalam tidur aku bermimpi bahwa kiyamat telah terjadi dan para Nabi telah bangun dengan para pengikutnya. Di antara mereka ada yang hanya di ikuti oleh seorang atau dua orang pengikut saja. Kemudian munculah RasuluLlah SAW dengan umatnya yang bagaikan rantai tanpa ujung bak malam karena banyaknya. Di antara umatnya terdapat para Syaikh dan para pengikut mereka dengan berbagai sinar yang membedakan antara satu dengan yang lain. Lalu munculah seorang pria dengan pengikut terbanyak diantara para Syaikh lainnya. Sebuah suara berkata, “inilah Syaikh Abdul Qadir dan para pengikutnya. Akupun datang dan menemuinya dan berkata, ‘Tuanku, tidak ada seorang Syaikh pun yang melebihimu. Tidak pula kualitas pengikut mereka dapat melebihi kualitas pengikutmu’. Lalu aku melantunkan sebuah sya’ir dan terbangun dan mendapati diriku telah menghafalnya.”
Al-Hafid bin Najjar neriwayatkan bahwa Syaikh Abu Futuh Ahmad berkata, “Aku meminta ijin kepada kakekku (menteri pada waktu itu) untuk pergi menghadiri majlis Syaikh Abdul Qadir . beliau mengijinkanku dan membekaliku dengan emas seraya berpesan agar aku memberikan emas tersebut kepada sang Syaikh dan menyampaikan salam darinya kepada sang Syaikh. Usai majlis tersebut aku menyampaikan salam kepadanya namun aku merasa tidak nyaman untuk memberikan emas tersebut kepadanya di hadapan orang banyak. ‘jika Syaikh masuk ke ruangannya, aku akan masuk dan memberikan emas ini kepadanya’. Pikirku. Namun beliau berkata kepadaku, “berikan apa yang ada bersamamu dan jangan pedulikan orang-orang ini serta sampaikan salamku kepada sang menteri”. Akupun pulang dengan perasaan takjub.
Dalam riwayat lain disebutkan bahwa sang Syaikh berkata kepadanya, ‘Pegang emas yang ada pada dirimu dan jangan pedulikan orang-orang, tidak perlu engkau berniat berziarah kepadaku. Kemudian sampaikan salamku kepada kakekmu sang menteri dan katakan kepadanya, ‘Abdul Qadir tidak membutuhkan apa yang engkau kirimkan, kembalikan saja kepada yang berhak menerimanya’”. Dan akupun pulang dengan perasaan takjub.
Syaikh Najmuddin Abu Abbas Ahmad bin Abi Hasan Al-bathiahi meriwayatkan bahwa beliau pernah mendengar bahwa Syaikh Ibrahim AL-‘Azab berkata, “Syaikh Abdul Qadir adalah Tuan kami, Syaikh golongan hakikat dan imam golongan shiddiq, hujja golongan ‘ariif, dan teladan bagi golongan salik kepada Allah RadhiyaLlaahu ‘Anhum Ajma’iin.
Syaikh Abu Barakat Ash-Shuhrawardi meriwayatkan bahwa beliau pernah mendengar Syaikh Abdul Qadir melantunkan sya’ir di bawah ini saat duduk di kursinya di bab Al-Azji :
Bukankah suatu kemalangan bila malamku lewat tanpa manfaat dan Engkau catat sebagai bagian dari umurku…
Al-Hafidz Ibnu Najjar berkata, “Syaikh Abdullah AL-Jaba’i mengirimkan surat kepadaku. Dia berkata kepadaku, ‘Syaikh Abdul Qadir pernah berkata, “dunia adalah sesuatu yang menyibukkan dan akhirat adalah sesuatu yang menakutkan. Seorang hamba akan selalu berada di antara keduanya sampai ia memutuskan yang mana yang akan diambil. Surga atau neraka’”.
Dalam suatu kesempatan di majlisnya beliau berkata, “sesuatu yang pertama kali muncul di dalam hati seorang mukmin adalah bintang hikmah kemudian bulan ilmu dan selanjutnya adalah matahari ma’rifah. Dengan sinar bintang hikmah orang tersebut akan melihat dunia. Dan dengan sinar bulan ilmu orang akan melihat akhirat. Dan dengan sinar matahari ma’rifah seseorang akan melihat Al-Mawla (Allah).
Beliau juga pernah berkata, “Para wali adalah pengantin Allah dan hanya isteri mereka yang ditampakkan kepada mereka”.

Pada suatu ketika ada orang yang bertanya kepada beliau tentang doa, maka beliau berkata, “Do’a dibagi dalam 3 derajad, Ta’ridh (terus terang), tashrih (jelas), dan isyarah (isyarat). Tashrih adalah doa yang dilafadzkan. Sedangkan Ta’ridh adalah do’a di dalam doa. Sedangkan isyarah adalah, perkataan tersembunyi yang ada di dalam perkataan. Sedangkan isyarah adalah terdapat dalam perbuatan yang tersembunyi”.

Contoh dari ta’ridh adalah sabda RasuluLlah SAW, “Jangan pernah engkau serahkan pengurusan diri kami kepada kami. Sedangkan isyarah adalah seperti perkatanaan Nabi Ibrahim AS “Tuhanku, tunjukkan kepadaku bagaimana Engkau menghidupkan yang mati’. Di dalamnya terdapat isyarat permohonan melihat. Adapun derajad tashrih semisal perkataan Musa AS, “Tuhanku, biarkan aku melihatMu”.

Diriwayatkan dari Syaikh Abdurrazaq bin Syaikh Abdul Qadir, beliau berkata, diantara doa ayahku adalah “Yaa Allah aku berlindung dari direndahkan dengan wushulku kepadaMu, dari dicampakkannya diriku dengan kedekatanMu, dari ditolaknya diriku dari penerimaanMu terhadap diriku, dan jadikanlah kami termasuk mereka yang taat dan cinta kepadaMu, dan anugerahkanlah kepada kami rasa syukur dan terimakasih kepadaMu wahai Yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang”.

Diantara doa beliau adalah “Yaa Allah kami mohon kepadamu iman yang layak untuk dipersembahkan kepadaMu, keyakinan yang dapat menjadi tempat kami bersandar di hadapanMu pada hari kiyamat, pengampunan yang dapat menyalamatkan diri kami dari belitan dosa, rahmat yang dapat mensucikan kami dari karatnya aib, ilmu yang dapat kami pergunakan untuk memahami perintah dan laranganMu, pemahaman yang dapat menjadikan kami paham bagaimana kami memohon kepadaMu. Jadikanlah kami diantara para waliMu di dunia dan di akhirat. Penuhilah kalbu kami dengan sinar ma’rifahMu, sifatilah mata hati kami dengan celak hidayahMu, jagalah kaki pikiran kami agar tidak tergelincir dalam syubhat dan cegahlah burung jiwa kami untuk tidak berpacu memuaskan syahwat. Hapuskanlah tabir kejelekan kami dengan lembar kebaikan kami melalui tangan – tangan kebajikan. Jadikanlah harum amal perbuatan kami saat pengharapan pputus dari kami, saat penduduk yang mulia memalingkan wajahnya dari kami, saat kami berada dalam kegelapan liang lahat hingga hari kiyamat. Aliran apa yang Engkau cintai melalui hambaMu yang lemah ini dan lindungi dia dari ketergelinciran, dan tuntunlah ia dan semua yang hadir kepada perbuatan dan perkataan yang baik. Alirkanlah melalui lidahnya yang bermanfaat bagi yang mendengarkan, yang meneteskan air mata, yang melembutkan kalbu. Ampunilah ia dan orang-orang yang hadir serta seluruh muslim”.

Diriwayatkan bahwa setiap kali sang Syaikh menutup majlisnya, beliau selalu mengucapkan ,”Semoga Allah menjadikan kami dan anda sekalian diantara mereka yang mendapatkan perhatianNya karena khidmahnya, yang dihapuskan darinya dunia dan yang di ingatkan akan hari akhirnya dan yang mengikuti rejak para saleh. Sesungguhnya Dia berkuasa atas semua itu dan kuasa mewujudkannya wahai Tuhan Sekalian Alam”
Sulthanul Auliya Syekh Abdul Qadir Al-Jailani Rahimahullah, (bernama lengkap Muhyi al Din Abu Muhammad Abdul Qadir ibn Abi Shalih Al-Jailani). Lahir di Jailan atau Kailan tahun 470 H/1077 M kota Baghdad sehingga di akhir nama beliau ditambahkan kata al Jailani atau al Kailani. Biografi beliau dimuat dalam Kitab Adz Dzail 'Ala Thabaqil Hanabilah I/301-390, nomor 134, karya Imam Ibnu Rajab al Hambali. Ia wafat pada hari Sabtu malam, setelah magrib, pada tanggal 9 Rabiul akhir di daerah Babul Azajwafat di Baghdad pada 561 H/1166 M. Bila dirunut ke atas dari nasabnya, beliau masih keturunan Rasulallah Muhammad SAW dari Hasan bin Ali ra, yaitu Abu Shalih Sayidi Muhammad Abdul Qadir bin Musa bin Abdullah bin Yahya Az-zahid bin Muhammad bin Dawud bin Musa Al-Jun bin Abdullah Al-Mahdi bin Hasan Al-Mutsana bin Al-Hasan bin Ali bin Abi Thalib ra.

Masa Muda
Dalam usia 8 tahun ia sudah meninggalkan Jilan menuju Baghdad pada tahun 488 H/1095 M. Karena tidak diterima belajar di Madrasah Nizhamiyah Baghdad, yang waktu itu dipimpin Ahmad al Ghazali, yang menggantikan saudaranya Abu Hamid al Ghazali. Di Baghdad beliau belajar kepada beberapa orang ulama seperti Ibnu Aqil, Abul Khatthat, Abul Husein al Farra' dan juga Abu Sa'ad al Muharrimi. Belaiu menimba ilmu pada ulama-ulama tersebut hingga mampu menguasai ilmu-ilmu ushul dan juga perbedaan-perbedaan pendapat para ulama. Dengan kemampuan itu, Abu Sa'ad al Mukharrimi yang membangun sekolah kecil-kecilan di daerah Babul Azaj menyerahkan pengelolaan sekolah itu sepenuhnya kepada Syeikh Abdul Qadir al Jailani. Ia mengelola sekolah ini dengan sungguh-sungguh. Bermukim di sana sambil memberikan nasehat kepada orang-orang di sekitar sekolah tersebut. Banyak orang yang bertaubat setelah mendengar nasehat beliau. Banyak pula orang yang bersimpati kepada beliau, lalu datang menimba ilmu di sekolah beliau hingga sekolah itu tidak mampu menampung lagi.

Murid-Murid
Murid-murid beliau banyak yang menjadi ulama terkenal, seperti al Hafidz Abdul Ghani yang menyusun kitab Umdatul Ahkam Fi Kalami Khairil Anam, Syeikh Qudamah, penyusun kitab fiqh terkenal al Mughni.

Perkataan Ulama tentang Beliau
Syeikh Ibnu Qudamah sempat tinggal bersama beliau selama satu bulan sembilan hari. Kesempatan ini digunakan untuk belajar kepada Syeikh Abdul Qadir al Jailani sampai beliau meninggal dunia. (Siyar A'lamin Nubala XX/442).

Syeikh Ibnu Qudamah ketika ditanya tentang Syeikh Abdul Qadir menjawab, "Kami sempat berjumpa dengan beliau di akhir masa kehidupannya. Ia menempatkan kami di sekolahnya. Ia sangat perhatian terhadap kami. Kadang beliau mengutus putra beliau yang bernama Yahya untuk menyalakan lampu buat kami. Ia senantiasa menjadi imam dalam shalat fardhu."

Beliau adalah seorang yang berilmu, beraqidah Ahlu Sunnah, dan mengikuti jalan Salaf al Shalih. Belaiau dikenal pula banyak memiliki karamah. Tetapi, banyak (pula) orang yang membuat-buat kedustaan atas nama beliau. Kedustaan itu baik berupa kisah-kisah, perkataan-perkataan, ajaran-ajaran, tariqah (tarekat/jalan) yang berbeda dengan jalan Rasulullah, para sahabatnya, dan lainnya. Di antaranya dapat diketahui dari pendapat Imam Ibnu Rajab.

Tentang Karamahnya
Syeikh Abdul Qadir al Jailani adalah seorang yang diagungkan pada masanya. Diagungkan oleh para syeikh, ulama, dan ahli zuhud. Ia banyak memiliki keutamaan dan karamah. Tetapi, ada seorang yang bernama al Muqri' Abul Hasan asy Syathnufi al Mishri (nama lengkapnya adalah Ali Ibnu Yusuf bin Jarir al Lakhmi asy Syathnufi) yang mengumpulkan kisah-kisah dan keutamaan-keutamaan Syeikh Abdul Qadir al Jailani dalam tiga jilid kitab. Al Muqri' lahir di Kairo tahun 640 H, meninggal tahun 713 H. Dia dituduh berdusta dan tidak bertemu dengan Syeikh Abdul Qadir al Jailani. Dia telah menulis perkara-perkara yang aneh dan besar (kebohongannya).

"Cukuplah seorang itu berdusta, jika dia menceritakan yang dia dengar", demikian kata Imam Ibnu Rajab. "Aku telah melihat sebagian kitab ini, tetapi hatiku tidak tentram untuk berpegang dengannya, sehingga aku tidak meriwayatkan apa yang ada di dalamnya. Kecuali kisah-kisah yang telah masyhur dan terkenal dari selain kitab ini. Karena kitab ini banyak berisi riwayat dari orang-orang yang tidak dikenal. Juga terdapat perkara-perkara yang jauh dari agama dan akal, kesesatan-kesesatan, dakwaan-dakwaan dan perkataan yang batil tidak berbatas, seperti kisah Syeikh Abdul Qadir menghidupkan ayam yang telah mati, dan sebagainya. Semua itu tidak pantas dinisbatkan kepada Syeikh Abdul Qadir al Jailani rahimahullah."

Kemudian didapatkan pula bahwa al Kamal Ja'far al Adfwi (nama lengkapnya Ja'far bin Tsa'lab bin Ja'far bin Ali bin Muthahhar bin Naufal al Adfawi), seorang ulama bermadzhab Syafi'i. Ia dilahirkan pada pertengahan bulan Sya'ban tahun 685 H dan wafat tahun 748 H di Kairo. Biografi beliau dimuat oleh al Hafidz di dalam kitab Ad Durarul Kaminah, biografi nomor 1452. al Kamal menyebutkan bahwa asy Syathnufi sendiri tertuduh berdusta atas kisah-kisah yang diriwayatkannya dalam kitab ini.(Dinukil dari kitab At Tashawwuf Fii Mizanil Bahtsi Wat Tahqiq, hal. 509, karya Syeikh Abdul Qadir bin Habibullah as Sindi, Penerbit Darul Manar, Cet. II, 8 Dzulqa'dah 1415 H / 8 April 1995 M.).

Karya
Imam Ibnu Rajab juga berkata, "Syeikh Abdul Qadir al Jailani Rahimahullah memiliki pemahaman yang bagus dalam masalah tauhid, sifat-sifat Allah, takdir, dan ilmu-ilmu ma'rifat yang sesuai dengan sunnah."

Karya beliau, antara lain :
al Ghunyah Li Thalibi Thariqil Haq,
Futuhul Ghaib.

Murid-muridnya mengumpulkan ihwal yang berkaitan dengan nasehat dari majelis-majelis beliau. Dalam masalah-masalah sifat, takdir dan lainnya, ia berpegang dengan sunnah. Ia membantah dengan keras terhadap orang-orang yang menyelisihi sunnah.

Beberapa Ajaran Beliau
Sam'ani berkata, " Syeikh Abdul Qadir Al Jailani adalah penduduk kota Jailan. Ia seorang Imam bermadzhab Hambali. Menjadi guru besar madzhab ini pada masa hidup beliau." Imam Adz Dzahabi menyebutkan biografi Syeikh Abdul Qadir Al Jailani dalam Siyar A'lamin Nubala, dan menukilkan perkataan Syeikh sebagai berikut,"Lebih dari lima ratus orang masuk Islam lewat tanganku, dan lebih dari seratus ribu orang telah bertaubat."

Imam Adz Dzahabi menukilkan perkataan-perkataan dan perbuatan-perbuatan Syeikh Abdul Qadir yang aneh-aneh sehingga memberikan kesan seakan-akan beliau mengetahui hal-hal yang ghaib. Kemudian mengakhiri perkataan, "Intinya Syeikh Abdul Qadir memiliki kedudukan yang agung. Tetapi terdapat kritikan-kritikan terhadap sebagian perkataannya dan Allah menjanjikan (ampunan atas kesalahan-kesalahan orang beriman ). Namun sebagian perkataannya merupakan kedustaan atas nama beliau."( Siyar XX/451 ). Imam Adz Dzahabi juga berkata, " Tidak ada seorangpun para kibar masyasyeikh yang riwayat hidup dan karamahnya lebih banyak kisah hikayat, selain Syeikh Abdul Qadir Al Jailani, dan banyak di antara riwayat-riwayat itu yang tidak benar bahkan ada yang mustahil terjadi".

Syeikh Rabi' bin Hadi Al Madkhali berkata dalam kitabnya, Al Haddul Fashil,hal.136, " Aku telah mendapatkan aqidah beliau ( Syeikh Abdul Qadir Al Jaelani ) di dalam kitabnya yang bernama Al Ghunyah. (Lihat kitab Al-Ghunyah I/83-94) Maka aku mengetahui bahwa dia sebagai seorang Salafi. Ia menetapkan nama-nama dan sifat-sifat Allah dan aqidah-aqidah lainnya di atas manhaj Salaf. Ia juga membantah kelompok-kelompok Syi'ah, Rafidhah, Jahmiyyah, Jabariyyah, Salimiyah, dan kelompok lainnya dengan manhaj Salaf." (At Tashawwuf Fii Mizanil Bahtsi Wat Tahqiq, hal. 509, karya Syeikh Abdul Qadir bin Habibullah As Sindi, Penerbit Darul Manar, Cet. II, 8 Dzulqa'dah 1415 H / 8 April 1995 M.)

Inilah tentang beliau secara ringkas. Seorang 'alim Salafi, Sunni, tetapi banyak orang yang menyanjung dan membuat kedustaan atas nama beliau. Sedangkan beliau berlepas diri dari semua kebohongan itu. Wallahu a'lam bishshawwab.

Awal Kemasyhuran
Al-Jaba'i berkata bahwa Syeikh Abdul Qadir pernah berkata kepadanya, "Tidur dan bangunku sudah diatur. Pada suatu saat dalam dadaku timbul keinginan yang kuat untuk berbicara. Begitu kuatnya sampai aku merasa tercekik jika tidak berbicara. Dan ketika berbicara, aku tidak dapat menghentikannya. Pada saat itu ada dua atau tiga orang yang mendengarkan perkataanku. Kemudian mereka mengabarkan apa yang aku ucapkan kepada orang-orang, dan merekapun berduyun-duyun mendatangiku di masjid Bab Al-Halbah. Karena tidak memungkinkan lagi, aku dipindahkan ke tengah kota dan dikelilingi dengan lampu. Orang-orang tetap datang di malam hari dengan membawa lilin dan obor hingga memenuhi tempat tersebut. Kemudian, aku dibawa ke luar kota dan ditempatkan di sebuah mushalla. Namun, orang-orang tetap datang kepadaku, dengan mengendarai kuda, unta bahkan keledai dan menempati tempat di sekelilingku. Saat itu hadir sekitar 70 orang para wali radhiallahu 'anhum.

Kemudian, Syeikh Abdul Qadir melanjutkan, "Aku melihat Rasulallah SAW sebelum dzuhur, beliau berkata kepadaku, "anakku, mengapa engkau tidak berbicara?". Aku menjawab, "Ayahku, bagaimana aku yang non arab ini berbicara di depan orang-orang fasih dari Baghdad?". Ia berkata, "buka mulutmu". Lalu, beliau meniup 7 kali ke dalam mulutku kemudian berkata, "bicaralah dan ajak mereka ke jalan Allah dengan hikmah dan peringatan yang baik". Setelah itu, aku shalat dzuhur dan duduk serta mendapati jumlah yang sangat luar biasa banyaknya sehingga membuatku gemetar. Kemudian aku melihat Ali r.a. datang dan berkata, "buka mulutmu". Ia lalu meniup 6 kali ke dalam mulutku dan ketika aku bertanya kepadanya mengapa beliau tidak meniup 7 kali seperti yang dilakukan Rasulallah SAW, beliau menjawab bahwa beliau melakukan itu karena rasa hormat beliau kepada Rasulallah SAW. Kemudian, aku berkata, "Pikiran, sang penyelam yang mencari mutiara ma'rifah dengan menyelami laut hati, mencampakkannya ke pantai dada , dilelang oleh lidah sang calo, kemudian dibeli dengan permata ketaatan dalam rumah yang diizinkan Allah untuk diangkat". Ia kemudian menyitir, "Dan untuk wanita seperti Laila, seorang pria dapat membunuh dirinya dan menjadikan maut dan siksaan sebagai sesuatu yang manis."

Dalam beberapa manuskrip didapatkan bahwa Syeikh Abdul Qadir berkata, "Sebuah suara berkata kepadaku saat aku berada di pengasingan diri, "kembali ke Baghdad dan ceramahilah orang-orang". Aku pun ke Baghdad dan menemukan para penduduknya dalam kondisi yang tidak aku sukai dan karena itulah aku tidak jadi mengikuti mereka". "Sesungguhnya" kata suara tersebut, "Mereka akan mendapatkan manfaat dari keberadaan dirimu". "Apa hubungan mereka dengan keselamatan agamaku/keyakinanku" tanyaku. "Kembali (ke Baghdad) dan engkau akan mendapatkan keselamatan agamamu" jawab suara itu.

Aku pun membuat 70 perjanjian dengan Allah. Di antaranya adalah tidak ada seorang pun yang menentangku dan tidak ada seorang muridku yang meninggal kecuali dalam keadaan bertaubat. Setelah itu, aku kembali ke Baghdad dan mulai berceramah.

Beberapa Kejadian Penting
Suatu ketika, saat aku berceramah aku melihat sebuah cahaya terang benderang mendatangi aku. "Apa ini dan ada apa?" tanyaku. "Rasulallah SAW akan datang menemuimu untuk memberikan selamat" jawab sebuah suara. Sinar tersebut semakin membesar dan aku mulai masuk dalam kondisi spiritual yang membuatku setengah sadar. Lalu, aku melihat Rasulallah SAW di depan mimbar, mengambang di udara dan memanggilku, "Wahai Abdul Qadir". Begitu gembiranya aku dengan kedatangan Rasalullah SAW, aku melangkah naik ke udara menghampirinya. Ia meniup ke dalam mulutku 7 kali. Kemudian Ali datang dan meniup ke dalam mulutku 3 kali. "Mengapa engkau tidak melakukan seperti yang dilakukan Rasulallah SAW?" tanyaku kepadanya. "Sebagai rasa hormatku kepada Rasalullah SAW" jawab beliau.

Rasulallah SAW kemudian memakaikan jubah kehormatan kepadaku. "apa ini?" tanyaku. "Ini" jawab Rasulallah, "adalah jubah kewalianmu dan dikhususkan kepada orang-orang yang mendapat derajad Qutb dalam jenjang kewalian". Setelah itu, aku pun tercerahkan dan mulai berceramah.

Saat Nabi Khidir As. Datang hendak mengujiku dengan ujian yang diberikan kepada para wali sebelumku, Allah membukakan rahasianya dan apa yang akan dikatakannya kepadaku. Aku berkata kepadanya, "Wahai Khidir, apabila engkau berkata kepadaku, "Engkau tidak akan sabar kepadaku", aku akan berkata kepadamu, "Engkau tidak akan sabar kepadaku". "Wahai Khidir, Engkau termasuk golongan Israel sedangkan aku termasuk golongan Muhammad, inilah aku dan engkau. Aku dan engkau seperti sebuah bola dan lapangan, yang ini Muhammad dan yang ini ar Rahman, ini kuda berpelana, busur terentang dan pedang terhunus."

Al-Khattab pelayan Syeikh Abdul Qadir meriwayatkan bahwa suatu hari ketika beliau sedang berceramah tiba-tiba beliau berjalan naik ke udara dan berkata, "Hai orang Israel, dengarkan apa yang dikatakan oleh kaum Muhammad" lalu kembali ke tempatnya. Saat ditanya mengenai hal tersebut beliau menjawab, "Tadi Abu Abbas Al-Khidir As lewat dan aku pun berbicara kepadanya seperti yang kalian dengar tadi dan ia berhenti".

Hubungan Guru dan Murid
Guru dan teladan kita Syeikh Abdul Qadir berkata, "Seorang Syeikh tidak dapat dikatakan mencapai puncak spiritual kecuali apabila 12 karakter berikut ini telah mendarah daging dalam dirinya.

Dua karakter dari Allah yaitu dia menjadi seorang yang sattar (menutup aib) dan ghaffar (pemaaf).
Dua karakter dari Rasulullah SAW yaitu penyayang dan lembut.
Dua karakter dari Abu Bakar yaitu jujur dan dapat dipercaya.
Dua karakter dari Umar yaitu amar ma'ruf nahi munkar.
Dua karakter dari Utsman yaitu dermawan dan bangun (tahajjud) pada waktu orang lain sedang tidur.
Dua karakter dari Ali yaitu alim (cerdas/intelek) dan pemberani.

Masih berkenaan dengan pembicaraan di atas dalam bait syair yang dinisbatkan kepada beliau dikatakan:

Bila lima perkara tidak terdapat dalam diri seorang syeikh maka ia adalah Dajjal yang mengajak kepada kesesatan.

Dia harus sangat mengetahui hukum-hukum syariat dzahir, mencari ilmu hakikah dari sumbernya, hormat dan ramah kepada tamu, lemah lembut kepada si miskin, mengawasi para muridnya sedang ia selalu merasa diawasi oleh Allah.

Syeikh Abdul Qadir juga menyatakan bahwa Syeikh al Junaid mengajarkan standar al Quran dan Sunnah kepada kita untuk menilai seorang syeikh. Apabila ia tidak hafal al Quran, tidak menulis dan menghafal Hadits, dia tidak pantas untuk diikuti.

Menurut saya (penulis buku) yang harus dimiliki seorang syeikh ketika mendidik seseorang adalah dia menerima si murid untuk Allah, bukan untuk dirinya atau alasan lainnya. Selalu menasihati muridnya, mengawasi muridnya dengan pandangan kasih. Lemah lembut kepada muridnya saat sang murid tidak mampu menyelesaikan riyadhah. Dia juga harus mendidik si murid bagaikan anak sendiri dan orang tua penuh dengan kasih dan kelemahlembutan dalam mendidik anaknya. Oleh karena itu, dia selalu memberikan yang paling mudah kepada si murid dan tidak membebaninya dengan sesuatu yang tidak mampu dilakukannya. Dan setelah sang murid bersumpah untuk bertobat dan selalu taat kepada Allah baru sang syaikh memberikan yang lebih berat kepadanya. Sesungguhnya bai'at bersumber dari hadits Rasulullah SAW ketika beliau mengambil bai'at para sahabatnya.

Kemudian dia harus mentalqin si murid dengan zikir lengkap dengan silsilahnya. Sesungguhnya Ali ra. bertanya kepada Rasulallah SAW, "Wahai Rasulallah, jalan manakah yang terdekat untuk sampai kepada Allah, paling mudah bagi hambanya dan paling afdhal di sisi-Nya. Rasulallah berkata, "Ali, hendaknya jangan putus berzikir (mengingat) kepada Allah dalam khalwat (kontemplasinya)". Kemudian, Ali ra. kembali berkata, "Hanya demikiankah fadhilah zikir, sedangkan semua orang berzikir". Rasulullah berkata, "Tidak hanya itu wahai Ali, kiamat tidak akan terjadi di muka bumi ini selama masih ada orang yang mengucapkan 'Allah', 'Allah'. "Bagaimana aku berzikir?" tanya Ali. Rasulallah bersabda, "Dengarkan apa yang aku ucapkan. Aku akan mengucapkannya sebanyak tiga kali dan aku akan mendengarkan engkau mengulanginya sebanyak tiga kali pula". Lalu, Rasulallah berkata, "Laa Ilaaha Illallah" sebanyak tiga kali dengan mata terpejam dan suara keras. Ucapan tersebut di ulang oleh Ali dengan cara yang sama seperti yang Rasulullah lakukan. Inilah asal talqin kalimat Laa Ilaaha Illallah. Semoga Allah memberikan taufiknya kepada kita dengan kalimat tersebut.

Syeikh Abdul Qadir berkata, "Kalimat tauhid akan sulit hadir pada seorang individu yang belum di talqin dengan zikir bersilsilah kepada Rasullullah oleh mursyidnya saat menghadapi sakaratul maut".

Karena itulah Syeikh Abdul Qadir selalu mengulang-ulang syair yang berbunyi: Wahai yang enak diulang dan diucapkan (kalimat tauhid) jangan engkau lupakan aku saat perpisahan (maut).

Lain-Lain
Kesimpulannya beliau adalah seorang 'ulama besar. Apabila sekarang ini banyak kaum muslimin menyanjung-nyanjungnya dan mencintainya, maka itu adalah suatu kewajaran. Bahkan suatu keharusan. Akan tetapi kalau meninggi-ninggikan derajat beliau di atas Rasulullah shollallahu'alaihi wasalam, maka hal ini merupakan kekeliruan yang fatal. Karena Rasulullah shollallahu 'alaihi wasalam adalah rasul yang paling mulia di antara para nabi dan rasul. Derajatnya tidak akan terkalahkan di sisi Allah oleh manusia manapun. Adapun sebagian kaum muslimin yang menjadikan Syeikh Abdul Qadir sebagai wasilah (perantara) dalam do'a mereka, berkeyakinan bahwa do'a seseorang tidak akan dikabulkan oleh Allah, kecuali dengan perantaranya. Ini juga merupakan kesesatan. Menjadikan orang yang meninggal sebagai perantara, maka tidak ada syari'atnya dan ini diharamkan. Apalagi kalau ada orang yang berdo'a kepada beliau. Ini adalah sebuah kesyirikan besar. Sebab do'a merupakan salah satu bentuk ibadah yang tidak diberikan kepada selain Allah. Allah melarang mahluknya berdo'a kepada selain Allah. "Dan sesungguhnya mesjid-mesjid itu adalah kepunyaan Allah. Maka janganlah kamu menyembah seseorang pun di dalamnya di samping (menyembah) Allah. (QS. Al-Jin: 18)"

Jadi sudah menjadi keharusan bagi setiap muslim untuk memperlakukan para 'ulama dengan sebaik mungkin, namun tetap dalam batas-batas yang telah ditetapkan syari'ah. Akhirnya mudah-mudahan Allah senantiasa memberikan petunjuk kepada kita sehingga tidak tersesat dalam kehidupan yang penuh dengan fitnah ini.

Pada tahun 521 H/1127 M, dia mengajar dan berfatwa dalam semua madzhab pada masyarakat sampai dikenal masyarakat luas. Selama 25 tahun Syeikh Abdul Qadir menghabiskan waktunya sebagai pengembara sufi di Padang Pasir Iraq dan akhirnya dikenal oleh dunia sebagai tokoh sufi besar dunia Islam. Selain itu dia memimpin madrasah dan ribath di Baghdad yang didirikan sejak 521 H sampai wafatnya di tahun 561 H. Madrasah itu tetap bertahan dengan dipimpin anaknya Abdul Wahab (552-593 H/1151-1196 M), diteruskan anaknya Abdul Salam (611 H/1214 M). Juga dipimpin anak kedua Syeikh Abdul Qadir, Abdul Razaq (528-603 H/1134-1206 M), sampai hancurnya Baghdad pada tahun 656 H/1258 M.

Syeikh Abdul Qadir juga dikenal sebagai pendiri sekaligus penyebar salah satu tarekat terbesar didunia bernama Tarekat Qodiriyah.

Saturday 14 July 2012

kisah Syekh Siti(nyata)




Syekh Siti Jenar adalah nama yang selalu dikaitkan – secara salah kaprah – dengan mistik kejawen, yakni agama Hindu-Buddha serta paham animisme dan dinamisme, jauh dari agama yang dianutnya sendiri, yakni Islam. Ia juga sering dikaitkan dengan kesesatan sebuah ajaran agama pada masa-masa awal perkembangan Islam di Indonesia. Hingga detik ini pun, riwayat biografinya masih diselimuti dongeng atau fiksi semi-ilmiah, sehingga membuat sebagian sejarawan meragukan keberadaannya sebagai sosok sejarah.

Bila dirunut, fenomena tersebut terjadi akibat kurangnya informasi yang memadai tentang sosok dan ajaran Syekh Siti jenar. Walaupun banyak karya ditulis tentangnya, namun kebanyakan justru melenceng jauh dari sosok Syekh Siti Jenar yang sebenarnya. Sebagian malah semakin mengaburkan eksistensinya. Oleh karena itu, KH Muhammad Sholikhin, terdorong untuk melakukan penelitian dan penulisan mengenai sosok dan ajaran Syekh Siti Jenar. Akhirnya, lahirlah buku ini, yang menjadi salah satu ikhtiarnya untuk meluruskan sejarah salah satu Wali Tanah Jawa ini.

Adapun kontroversi mengenai Syekh Siti Jenar dari perspektif sejarah memang wajar terjadi, bila dilihat dari posisi sosial-politik pada zamannya, posisi kewaliannya, serta keberagamaannya. Sebab – sebagaimana diulas di dalam tiga karya penulis sebelumnya - keterbukaan pemikirannya, beragam perannya sebagai pribadi, kemampuannya menyatukan berbagai perspektif dan sudut pandang keagamaan yang futuristik, menyebabkan Syekh Siti Jenar berada di titik luar mainstream agama dan politik pada masanya, hingga jauh menembus dan mencapai lompatan sejarah ke depan.

Syekh Siti Jenar adalah mistikus Islam besar di Indonesia (Jawa) yang sebenarnya memiliki gagasan-gagasan spiritual mendalam. Ia banyak dipuja sekaligus dicerca. Namun, semua itu justru semakin mengokohkannya sebagai tokoh makrifat yang mantap. Bahkan, popularitasnya tidak kalah cemerlang dibanding semua tokoh wali di zamannya. Dewasa ini, baik kajian, penelitian, dan penulisan mengenai ajaran-ajarannya tampak semakin banyak dilakukan orang.

Dengan demikian, pandangan yang objektif tentu sangat diperlukan. Terkait objektivitas ini, kita perlu mempelajari dan menelaah ajarannya secara langsung, yang dirujuk pada perkataan, ajaran, dan pengalaman Syekh Siti Jenar sendiri, serta beberapa hal yang dikemukakan oleh muridnya pada generasi pertama.

Namun tentu saja, mempelajari langsung bukan berarti dapat dengan mudah mengakses semua sumber tentang ajaran Syekh Siti jenar. Sebab, sebagaimana umumnya dipahami, dalam setiap tarekat dan aliran spiritual keagamaan, pasti terdapat beberapa segi ajaran yang hanya diperuntukkan bagi kalangan internal dan tidak boleh diakses orang luar. Bahkan penulis sendiri terpaksa tidak bisa mempublikasikan beberapa ajaran inti yang hanya diperuntukkan bagi kalangan internal.

Dalam buku ini juga dibantah bahwa Syekh Siti Jenar wafat karena dieksekusi oleh Wali Songo, seperti banyak dituliskan dan dijelaskan dalam berbagai riwayat. Di dalam buku ini dijelaskan bahwa Syekh Siti Jenar wafat secara normal, bahkan tanpa melalui keadaan sakit terlebih dulu. Ia wafat dengan sangat tenang pada sekitar tahun 1530 M dan jasadnya dikuburkan secara terhormat oleh para Wali di Astana Kemlaten. Kesunyian makamnya yang sampai sekarang terjadi, tidak lain menunjukkan keinginannya agar selalu berada dalam kesunyian bersama Ilahi. Pada masa lalu, tempat tersebut dikenal sebagai ”Suwung”.

Dalam sebuah versi dikatakan bahwa Syekh Siti Jenar wafat secara Mokswa, yakni wafat di mana jasadnya ikut hilang terserap menjadi ruh, dan berada di sisi Allah. Tentu hal ini dapat dipahami, bahwa Syekh Siti Jenar yang sudah diliputi Ruh Al-Haqq, sudah melepaskan diri kemanusiaannya secara total. Ia sudah menjadi sesuatu yang tidak bisa dijabarkan dengan kata-kata. Ia bukan bapak, bukan saudara, bukan suami, bukan anak, bukan laki-laki, bukan guru suci, bukan ulama, bukan manusia, bukan sesuatu yang dikait-kaitkan dengan kata-kata, angan-angan, gambaran-gambaran, maupun gagasan-gagasan.

Dalam buku ini, penulis menekankan, bahwa berbagai tuduhan sesat atas ajaran Syekh Siti Jenar sebenarnya hampir semua mengacu pada serat dan babad Jawa, yang ditulis oleh mereka yang kurang mengerti tentang Islam dan Tasawuf. Syekh Siti Jenar tidak mengajarkan ilmu yang sesat maupun menyesatkan. Bahwa dia diberitakan dalam berbagai sumber tradisi mengajarkan ilmu wahdatul wujud dan pengakuannya ”Ana Al-Haqq” yakni bahwa dirinya adalah Allah sehingga dijatuhi hukuman pancung, harus diklarifikasikannya dalam konteks sejarah konflik paham keagamaan pada saat Serat Babad Demak – dan berbagai Serat serta Babad Jawa yang lain – ditulis.

Buku ini juga memaparkan tentang dua tokoh ulama yang mengaku sebagai Syekh Siti Jenar yang menyebarkan ajaran yang benar-benar menyimpang, sehingga nama baik Syekh Siti Jenar tercoreng. Akhirnya dan intinya, buku ini hadir serta memposisikan dirinya sebagai koreksi atas berbagai penulisan ”Serat” dan ”Babad” Jawa dalam penulisan sejarah Syekh Siti Jenar

Sunday 8 July 2012

ra·sa


1 tanggapan indra thd rangsangan saraf, spt manis, pahit, masam thd indra pengecap, atau panas, dingin, nyeri thd indra perasa);  

2 apa yg dialami oleh badan: -- pedih dan nyeri di perut merupakan gejala sakit lambung; 3 sifat rasa suatu benda: gula -- nya manis;  

4 tanggapan hati thd sesuatu (indra): -- sedih (bimbang, takut); 5 pendapat (pertimbangan) mengenai baik atau buruk, salah atau benar: -- adil; -- tak mengapa hidung dikeluani, pb orang yg kurang pikir atas sesuatu yg terjadi pd dirinya sehingga mendapat susah juga;

-- komunitas Antr realitas pd masyarakat kampung yg menganggap diri mereka sbg kesatuan dan hidup begitu dekat satu sama lain sehingga mereka hampir tidak dapat menghindar dr fungsi kesatuan;

ra·sa·nya adv kiranya;

ra·sa-ra·sa·nya adv v  

1 sekiranya; kira-kira: kalau ~ sangat perlu, belilah secukupnya; 2 seolah-olah (untuk menyatakan bimbang): ~ hendak ditinggalkannya pekerjaannya yg berat itu;

be·ra·sa v  

1 mendapat rasa (yg dialami oleh badan): seluruh badannya ~ sakit;  

2 mempunyai rasa (pahit, manis, dsb): gulai itu ~ masin, cukup banyak garamnya; 

3 Mk dirasa(i); terasa (sbg): rumahku ini tiada ~ rumahku lagi; me·ra·sa v  

1 mengalami rangsangan yg mengenai (menyentuh) indra (spt yg dialami lidah, kulit, atau badan): setelah ~ pahit, obat itu diludahkanya; 

2 mengalami rasa dl hati (batin): ~ terhina; ~ hati 1 tertarik (kpd);

2 merasa kecewa; tidak senang;  

3 yg terasa dl hati, yg terkandung di dl hati;

me·ra·sai v  

1 mengecap (makanan ); mencicipi: ~ minum sejuk setelah lama berjalan dl panas matahari;  

2 mengalami (mendapat) kesenangan dsb: ~ kebahagiaan;  

3 meraba dng tangan dan kaki untuk mendapatkan sesuatu;  

4 ki menduga (mengajuk) hati orang dsb;

me·ra·sa-ra·sai v meraba-rabai untuk mengetahui sesuatu;

me·ra·sa·kan v  

1 membiarkan (menjadikan) merasa atau merasai: rakyat belum ~ nikmatnya kemerdekaan secara merata;  

2 menikmati: mereka ~ sepuasnya hidup bersuami istri; te·ra·sa v dapat dirasa(i); sudah dirasa(i); berasa dng tibatiba: tekanan ekonomi semakin ~ di mana-mana; te·ra·sa·kan v dapat dirasakan; sudah dirasakan: pengaruh kerusakan ekonomi akibat perang masih tetap ~ sampai sekarang; pe·ra·sa n  

1 alat untuk merasa (spt lidah atau kulit); 


2 peka perasaan; mudah merasa (berasa): hati-hati berbicara dng anak itu, ia sangat ~; ~ angin mudah tersinggung;

mem·pe·ra·sa·kan v merasai; merasakan; mengindahkan (memikirkan): ia dapat ~ penderitaan yg menimpa keluarganya; pe·ra·sa·an n 

1 hasil atau perbuatan merasa dng pancaindra: bagaimanakah menurut ~ mu, badan saya panas ataukah dingin?;  

2 rasa atau keadaan batin sewaktu menghadapi (merasai) sesuatu: bekerja dng ~ gembira, hasilnya akan memuaskan;  

3 kesanggupan untuk merasa atau merasai: sangat tajam ~ nya;  

4 pertimbangan batin (hati) atas sesuatu; pendapat: pd ~ ku, itu tidak benar; se·ra·sa n spt rasanya dng; seakan-akan; seolah-olah: minum air ~ duri; ~ putus tali jantung, melihat ia menangis; ~ bayang-bayang hilang semangat


M@M@h YUniawati....... Powered by Blogger.
  1. Menyesali sedalam-dalamnya tindakan dimasa lalu yang keliru, yang tidak bermanfaat dan tidak baik, dan mengembalikan harta orang yang telah diambil secara aniaya. Jika tidak bias mengembalikannya maka mintalah kerelaan dari sang empunya agar menjadi halal (analasa anebataken lampah kang karuhun, kang tanpa gawe, kang tanpa yukti, lawan arep angulihaken artaning wong kinaniaya. Yen tan kawasa angulihaken palampahana halal rewanging asawala, mangkadi i kang linaran atine abcik yang pasunga halal).
Design Downloaded from Free Blogger Templates | Free Website Templates