Get Gifs at CodemySpace.com
funny gifsPerkuat dirimu dengan ikhtiar dan amal Teguhlah dalam sikap tak mementingkan dunia Namun jangan jadikan pengetahuan rohani sebagai tujuan Renungi dalam-dalam dirimu agar niatmu terkabul Kau adalah pancaran kebenaran ilahi Jalan terbaik ialah tidak mamandang selain Dia.

Saturday, 26 December 2015

versi versi gunung menjuluk

Konon dulu seorang pemuda putra dari tumenggung Sedayu yang bernama Joko Kuncung sering pergi ke lereng gunung menjuluk yang terletak di desa Sedayulawas. Setiap hari dia menggembala kambing bersama teman-temannya. Pada suatu ketika ia bertemu dengan seorang bapak yang duduk termenung di salah satu tempat di lereng gunung menjuluk. “Bapak ada keperluan apa duduk sendirian di sini?” Tanya Joko Kuncung kepada beliau. “Saya bermaksud menyepi agar perahu saya mendapat ikan yang banyak (along),” jawab Bapak tersebut. “Begini saja! Sekarang Bapak pulang, insyaallah nanti perahu Bapak akan mendarat dengan menampung ikan yang banyak (along),” Joko Kuncung meyakinkan. Akhirnya Bapak tersebut mengikuti saran Joko Kuncung dan pulanglah beliau. Ternyata semua yang dikatakan oleh Joko Kuncung, anak penggembala kambing itu, benar-benar terjadi. Keesokan harinya bapak tersebut mendapatkan rejeki yang berlimpah ruah. Perahunya along (dapat ikan banyak), demikian juga pada hari-hari berikutnya sehingga bapak tersebut menjadi nelayan yang sangat kaya raya.
 Sebagai ungkapan terimakasih kepada para anak gembala kambing, yang memiliki andil yang sangat besar terhadap kesuksesannya menjadi nelayan yang kaya, bapak tersebut setiap hari datang ke lereng gunung menjuluk sambil membawa ketupat dan lepet untuk dibagikan ke anak-anak penggembala kambing yang berada di sana dan memakannya bersama-sama. Dan akhirnya kebiasaan yang dilakukan terus menerus ini diabadikan sebagai tradisi untuk mengumpulkan dan menyatukan seluruh warga Sedayulawas di gunung Menjuluk. Peristiwa tersebut dikenal dengan istilah “Kupatan di Gunung Menjuluk” yaitu satu minggu setelah hari raya Idul Fitri. Tradisi tersebut seakan-akan mengadopsi falsafah “indahnya sebuah kebersamaan”. Setiap hari Raya Ketupat, warga datang berduyun-duyun ke lereng gunung Menjuluk sambil membawa ketupat dan lepet untuk dimakan bersama keluarga, teman, dan tetangga. Sampai sekarang tradisi tersebut masih melekat dan menjadi sarana hiburan tersendiri bagi masyarakat Sedayu dan sekitarnya setiap tahun.






 versi 2:
Pada zaman dahulu kala, ada satu wilayah yang masih kosong dengan arti wilayah yang masih belum ada penduduknya. Wilayah ini masih berupa wilayah yang jauh dari orang – orang dan masih berupa hutan belantara yang sangat terkenal keangkerannya. Dengan demikian wilayah tersebut mendapat istilah “ Jalmo moro jalmo mati ” yang artinya siapa saja yang melewati atau memasuki wilayah hutan tersebut maka orang itu tidak akan bisa kembali. Dalam keadaan wilayah seperti itu, tidak ada seorang pun yang berani untuk mendekati wilayah tersebut. Akhirnya cerita tentang wilayah hutan itupun menyebar kemana-mana. Bahkan cerita itu sampai pada telinga seorang Raja Sri Sultan Tawang Alam adalah salah seorang raja dari Kerajaan Surakarta ( sekarang solo ) yang juga mendengar cerita tersebut.

Kemudian pada tahun 1463 Sri Sultan Tawang Alam memerintahkan atau menugaskan putra keponakannya yang bernama Soera Wikrama ke pesisir pantai utara laut jawa bagian timur, tepatnya di wilayah hutan belantara yang angker tersebut. Dan Soera Wikrama di angkat oleh Sri Sultan Tawang Alam menjadi seorang tumenggung. Ia diberi oleh raja Sri Sultan Tawang Alam dua piandel atau senjata ampuh. Dua piandel itu adalah :

1. Berupa pedang kangkam mas
2. Berupa gentong alias kendil

Kedua piandel tersebut hingga saat ini menjadi lambang atau simbol wilayah tersebut. Konon kabarnya kedua piandel tersebut juga masih tersimpan di gua Gunung Menjuluk yang tempatnya berada disebelah selatan wilayah tersebut.
Tumenggung Soera Wikrama di serahi Sultan Tawang Alam wilayah yang sangat luas. Wilayah tersebut adalah perbatasan di sebalah barat hingga mencapai desa palang dan di sebelah timur sampai ke kecamatan panceng. Perbatasan tersebut sampai sekarang masih digunakan sebagai perbatasan kabupaten Lamongan. Adapun wilayah Sri Sultan Tawang Alam meliputi 4 kabupaten. Keempat kabupaten tersebut adalah kabupaten Tuban, kabupaten Lamongan, kabupaten Gresik dan kabupaten Madura.
Setelah Sultan Tumenggung Soera Wikrama meninggal dunia, ia kemudian diganti dengan putranya yang bernama Raden Rangga Jaya Sasmita. Kemudian Raden Rangga Jaya Sasmita menikah dengan seorang putri dari madura yang bernama Dewi Supatmi. Dalam perkawinannya Raden Rangga Jaya Sasmita dengan Dewi Supatmi dikaruniai 3 putra, ketiga putra tersebut adalah Raden Kanjeng Badrun, Dewi Sukarsih dan Dewi Rara Tangis. Kemudian Raden Rangga Jaya Sasmita menikah lagi dengan seorang putri yang berasal dari desa Dandang kecamatan karanggeneng. Dalam perkawinannya mereka di karuniai seoarang putra yang diberi nama Raden Jamilun.
Dewi Rara Tangis anak ketiga Raden Rangga Jaya Sasmita yang sangat cantik.
Pada suatu hari Gajah Belang bermain - main disebelah timur wilayah pesisir pantai utara laut jawa yang tepatnya di Watu Awang. Ia bertemu dengan seorang gadis yang sangat cantik, gadis itu adalah Dewi Rara Tangis. Tentu saja sedikit banyak Gajah Belang akan memujinya bahkan lebih dari pada itu. Gajah Belang sangat terheran – heran melihat kecantikan Dewi Rara Tangis yang sangat alami. Meskipun Gajah Belang itu memiliki wajah yang sangat jelek, tetapi Gajah Belang mempunyai kesaktian yang sangat luar biasa. Kemudian Gajah Belang pun jatuh cinta kepada Dewi Rara Tangis, begitu juga dengan Dewi Rara Tangisjuga jatuh cinta kepada Gajah Belang. Akhirnya cinta itu tumbuh subur dihati antara Gajag Belang dan Dewi Rara Tangis. Mereka berdua adalah pasangan yang seolah – olah tidak akan terpisahkan.
Dewi Rara Tangis adalah seorang putri yang sangat cantik sehingga tidak sedikit orang yang ingin memilikinya. Di tengah – tengah perjalanan cinta antara Gajah Belang dan Dewi Rara Tangis, ada seorang putra bangsawan yang berasal dari Tuban yang bernama Jaka Kuncir yang ingin memiliki dan meminang Dewi Rara Tangis. Begitu juga dengan Indra Soewarna putra dari Kiageng Rengel ( sambas ) juga ingin menjadi pendamping Dewi Rara Tangis untuk menjadi istrinya, tapi semua itu tinggallah impian saja. Dewi Rara Tangis tidak mencintai Indra Soewarna ataupun Jaka Kuncir, ia hanya mencintai Gajah Belang meskipun Gajah Belang memiliki wajah yang sangat jelek. Dewi Rara Tangis menolak kepada kedua putra bangsawan itu untuk dijadikan pendamping hidup karena selain Dewi Rara Tangis tidak mencintai mereka berdua, mereka berdua mempunyai kepercayaan yang berbeda, mereka beragama budha.
Raden Rangga Jaya Sasmita atau ayah Dewi Rara Tangis mengetahui hubungan anaknya dengan Gajah Belang. Raden Rangga Jaya Sasmita tidak memperbolehkan kepada anaknya Dewi Rara Tangis supaya tidak lagi berhubungan dengan Gajah Belang, karena wajah Gajah Belang yang sangat jelek. Gajah Belang juga merupakan seorang rakyat jelata yang tidak pantas mempunyai hubungan baik dengan seorang putrid Tumenggung. Raden Rangga Jaya Sasmita beranggapan bahwa hubungan antara Dewi Rara Tangis dengan Gajah Belang merupakan suatu penghinaan besar bagi diri Raden Rangga Jaya Sasmita, karena anaknya yang sangat cantik yang dikagumi banyak orang mencintai seorang pemuda yang berasal dari rakyat biasa atau bukan bangsawan.
Raden Rangga Jaya Sasmita bermaksud untuk menghancurkan hubungan antara Dewi Rara Tangis dengan Gajah Belang. Namun, segala usaha Raden Rangga Jaya Sasmita yang ingin memisahkan cinta yang terjalin antara Dewi Rara Tangis dan Gajah Belang tidak ada hasilnya. Bahkan mereka sangat dekat dan kuat menjaga hubungan mereka. Hingga berulang kali Raden Rangga Jaya Sasmita berusaha, namun semua itu sia – sia tidak ada hasilnya. Segala usaha Raden Rangga Jaya Sasmita itu tidak berhasil, ia ingin membunuh dengan cara yang licik. Raden Rangga Jaya Sasmita berhasil membunuh Gajah Belang. Dengan akal licik itu Gajah Belang terbunuh dengan sebuah panah yang diluncurkan ke arah dada Gajah Belang oleh Raden Rangga Jaya Sasmita ayah Dewi Rara Tangis. Anak panah yang ada di dada Gajah Belang tersebut kemudian diambil dengan di cabut oleh Raden Rangga Jaya Sasmita dan muncullah suatu keajaiban. Setelah di cabutnya anak panah tersebut mengalirlah darah Gajah Belang yang berwarna putih. Setelah melihat suatu keajaiban pada diri Gajah Belang, Raden Rangga Jaya Sasmita baru menyadari atas segala perbuatan yang ia perbuat yang selama ini mempunyai niat untuk memisahkan hubungan Dewi Rara Tangis anaknya dengan Gajah Belang. Raden Rangga Jaya Sasmita baru sadar bahwa perbuatan yang paling buruk selama hidupnya adalah perbuatan yang dilakukan kepada Gajah Belang.
Dewi Rara Tangis kemudian mengetahui segala perbuatan ayahnya yakni Raden Rangga Jaya Sasmita kepada Gajah Belang. Dewi Rara Tangis sangat sedih setelah mendengar kejadian yang selama ini tidak disangka. Sementara itu Raden Rangga Jaya Sasmita melihat anak gadisnya yang sedih, ia juga merasa bahwa membunuh Gajah Belang adalah suatu kesalahan yang sangat besar. Dewi Rara Tangis marah dengan ayahnya Raden Rangga Jaya Sasmita dan untuk itu Dewi Rara Tangis ingin segera untuk meninggalkan rumahnya dan juga keluarganya. Dewi Rara Tangis kemudian meninggalkan rumahnya dan pergi. Dalam kepergian Dewi Rara Tangis, Raden Rangga Jaya Sasmita beserta keluarganya sangat kecewa kehilangan seorang gadis yang sangat cantik yang mana Dewi Rara Tangis tidak akan kembali pulang untuk selamanya. Dewi Rara Tangis pergi dan tidak kembali pulang hanya untuk pergi bertapa untuk selama – lamanya. Dalam janjinya Dewi Rara Tangis akan berusaha untuk menjadi orang yang cantik untuk selama – lamanya. Dewi Rara Tangis pergi bertapa untuk selamanya hanya untuk mengenang Gajah Belang dan untuk menjadi orang yang cantik selama – lamanya. Dalam bahasa jawanya “ DADI WONG SING AYU SAK LAWAS – LAWASE atau SIDO AYU SAK LAWASE “. Kemudian wilayah itu mempunyai kisah tersendiri, dan untuk itu orang – orang yang ada disekitar wilayah tersebut akan mengenang dan mengabadikan menjadi nama atau sebutan untuk sebuah daerah dengan kata “ DESA SEDAYULAWAS “.
Dengan demikian nama SEDAYULAWAS hingga saat ini masih abadi dengan sebuah desa yang aman dan makmur dalam kehidupan penduduknya.


versi :3

 
Joko Samudro adalah pendekar dari Sampang, Madura. Ia diutus oleh gurunya untuk menyebarkan agama Islam di daerah pantura di Jawa Timur, tepatnya di Lamongan.

Selama di Lamongan, ia tinggal di Blimbing, sebuah desa yang terkenal dg kekayaan ikan dan nelayannya. Hari-harinya Joko Samudro, selain berdak'wah, juga dihabiskan dengan melaut.

Suatu ketika ia bertemu putri Sedayu, anak raja Kisedayu dari kerajaan Panembahan, sebuah kerajaan di suatu tempat (sekarang bernama Sedayulawas) yang tak jauh dari desa Blimbing. Melihat kecantikan putri Sedayu, Joko Samudro bermaksud untuk meminangnya.

Saat ia pergi melamar sang putri, gunung Menjuluk di selatan kerajaan tengah meletus dan mengeluarkan lahar yang tidak henti-henti. Oleh Kisedayu, Joko Samudro diberikan syarat. "Jika kau mampu menutup lahar yang keluar dari gunung Menjuluk itu, kau boleh meminang putriku," kata sang raja.

"Saya akan penuhi syarat itu. Tunggu sampai satu bulan. Saya akan pergi menutup lahar gunung Menjuluk itu," jawab Joko Samudro.

Kemudian Joko Samudro bertapa di desa Blimbing selama satu bulan. Ketika bangun dari pertapaan, ia langsung pergi ke gunung Menjuluk untuk menutup laharnya. Karena letusan lahar api yang panas berkobar itu, sekujur tubuhnya melepuh. Beruntung usahanya telah berhasil.

Setelah berhasil memenuhi syarat sang raja, ia pun pergi melamar sang putri dan menagih janji Kisedayu. Namun melihat tubuh Joko Samudro yang penuh luka dan belang, Putri Sedayu menolak lamarannya. Dengan rasa kecewa, Joko Samudro menyumpah putri Sedayu, "Selepas aku pergi dari sini, kau tidak akan pernah bisa menikah seumur hidupmu. Semua laki-laki akan menjauh darimu."

Joko Samudro kembali ke desa Blimbing. Ia memutuskan untuk tidak menikah dengan siapapun dan bertapa seumur hidupnya. Penduduk kerajaan Panembahan mencari Joko Samudro untuk berterima kasih karena sudah menyelamatkan desa Sedayu. Namun sesampai di Blimbing, mereka hanya bertemu jasad lelaki belang itu. Penduduk Sedayu berbondong-bondong ikut mengubur jasad Joko Samudro.
Orang Blimbing terkejut dan merasa heran kenapa orang-orang Sedayu berbondong-bondong ikut mengubur Joko Samudro. Salah satu penduduk Sedayu menjelaskan bahwa pemuda itu pernah berjasa menyelamatkan desa mereka dari bencana gunung meletus. Ia sangat kuat seperti gajah, dan bahkan ia rela badanya terkena letusan api hingga menjadi belang-belang. Maka dari itu sebagai rasa terima kasih, penduduk Sedayu berdatangan ke Blimbing untuk ikut memakamkannya.
Dari situ pula, penduduk Sedayu dan Blimbing sepakat memberi julukan Joko Samudro sebagai pendekar Gajah Belang.

Sekarang makam sang pendekar berada di desa Blimbing, kecamatan Paciran, kabupaten Lamongan.

0 comments:

Post a Comment


M@M@h YUniawati....... Powered by Blogger.
  1. Menyesali sedalam-dalamnya tindakan dimasa lalu yang keliru, yang tidak bermanfaat dan tidak baik, dan mengembalikan harta orang yang telah diambil secara aniaya. Jika tidak bias mengembalikannya maka mintalah kerelaan dari sang empunya agar menjadi halal (analasa anebataken lampah kang karuhun, kang tanpa gawe, kang tanpa yukti, lawan arep angulihaken artaning wong kinaniaya. Yen tan kawasa angulihaken palampahana halal rewanging asawala, mangkadi i kang linaran atine abcik yang pasunga halal).
Design Downloaded from Free Blogger Templates | Free Website Templates