Konon
dulu seorang pemuda putra dari tumenggung Sedayu yang bernama Joko
Kuncung sering pergi ke lereng gunung menjuluk yang terletak di desa
Sedayulawas. Setiap hari dia menggembala kambing bersama teman-temannya.
Pada suatu ketika ia bertemu dengan seorang bapak yang duduk termenung
di salah satu tempat di lereng gunung menjuluk. “Bapak ada keperluan apa
duduk sendirian di sini?” Tanya Joko Kuncung kepada beliau. “Saya
bermaksud menyepi agar perahu saya mendapat ikan yang banyak (along),”
jawab Bapak tersebut. “Begini saja! Sekarang Bapak pulang, insyaallah
nanti perahu Bapak akan mendarat dengan menampung ikan yang banyak
(along),” Joko Kuncung meyakinkan. Akhirnya Bapak tersebut mengikuti
saran Joko Kuncung dan pulanglah beliau. Ternyata semua yang dikatakan
oleh Joko Kuncung, anak penggembala kambing itu, benar-benar terjadi.
Keesokan harinya bapak tersebut mendapatkan rejeki yang berlimpah ruah.
Perahunya along (dapat ikan banyak), demikian juga pada hari-hari
berikutnya sehingga bapak tersebut menjadi nelayan yang sangat kaya
raya.
Sebagai
ungkapan terimakasih kepada para anak gembala kambing, yang memiliki
andil yang sangat besar terhadap kesuksesannya menjadi nelayan yang
kaya, bapak tersebut setiap hari datang ke lereng gunung menjuluk sambil
membawa ketupat dan lepet untuk dibagikan ke anak-anak penggembala
kambing yang berada di sana dan memakannya bersama-sama. Dan akhirnya
kebiasaan yang dilakukan terus menerus ini diabadikan sebagai tradisi
untuk mengumpulkan dan menyatukan seluruh warga Sedayulawas di gunung
Menjuluk. Peristiwa tersebut dikenal dengan istilah “Kupatan di Gunung
Menjuluk” yaitu satu minggu setelah hari raya Idul Fitri. Tradisi
tersebut seakan-akan mengadopsi falsafah “indahnya sebuah kebersamaan”.
Setiap hari Raya Ketupat, warga datang berduyun-duyun ke lereng gunung
Menjuluk sambil membawa ketupat dan lepet untuk dimakan bersama
keluarga, teman, dan tetangga. Sampai sekarang tradisi tersebut masih
melekat dan menjadi sarana hiburan tersendiri bagi masyarakat Sedayu dan
sekitarnya setiap tahun.
versi 2:
versi 2:
Pada zaman dahulu kala,
ada satu wilayah yang masih kosong dengan arti wilayah yang masih belum
ada penduduknya. Wilayah ini masih berupa wilayah yang jauh dari orang –
orang dan masih berupa hutan belantara yang sangat terkenal
keangkerannya. Dengan demikian wilayah tersebut mendapat istilah “ Jalmo
moro jalmo mati ” yang artinya siapa saja yang melewati atau memasuki
wilayah hutan tersebut maka orang itu tidak akan bisa kembali. Dalam
keadaan wilayah seperti itu, tidak ada seorang pun yang berani untuk
mendekati wilayah tersebut. Akhirnya cerita tentang wilayah hutan itupun
menyebar kemana-mana. Bahkan cerita itu sampai pada telinga seorang
Raja Sri Sultan Tawang Alam adalah salah seorang raja dari Kerajaan
Surakarta ( sekarang solo ) yang juga mendengar cerita tersebut.
Kemudian
pada tahun 1463 Sri Sultan Tawang Alam memerintahkan atau menugaskan
putra keponakannya yang bernama Soera Wikrama ke pesisir pantai utara
laut jawa bagian timur, tepatnya di wilayah hutan belantara yang angker
tersebut. Dan Soera Wikrama di angkat oleh Sri Sultan Tawang Alam
menjadi seorang tumenggung. Ia diberi oleh raja Sri Sultan Tawang Alam
dua piandel atau senjata ampuh. Dua piandel itu adalah :
1. Berupa pedang kangkam mas
2. Berupa gentong alias kendil
Kedua piandel tersebut hingga saat ini menjadi lambang atau simbol wilayah tersebut. Konon kabarnya kedua piandel tersebut juga masih tersimpan di gua Gunung Menjuluk yang tempatnya berada disebelah selatan wilayah tersebut.
1. Berupa pedang kangkam mas
2. Berupa gentong alias kendil
Kedua piandel tersebut hingga saat ini menjadi lambang atau simbol wilayah tersebut. Konon kabarnya kedua piandel tersebut juga masih tersimpan di gua Gunung Menjuluk yang tempatnya berada disebelah selatan wilayah tersebut.
Tumenggung
Soera Wikrama di serahi Sultan Tawang Alam wilayah yang sangat luas.
Wilayah tersebut adalah perbatasan di sebalah barat hingga mencapai desa
palang dan di sebelah timur sampai ke kecamatan panceng. Perbatasan
tersebut sampai sekarang masih digunakan sebagai perbatasan kabupaten
Lamongan. Adapun wilayah Sri Sultan Tawang Alam meliputi 4 kabupaten.
Keempat kabupaten tersebut adalah kabupaten Tuban, kabupaten Lamongan,
kabupaten Gresik dan kabupaten Madura.
Setelah
Sultan Tumenggung Soera Wikrama meninggal dunia, ia kemudian diganti
dengan putranya yang bernama Raden Rangga Jaya Sasmita. Kemudian Raden
Rangga Jaya Sasmita menikah dengan seorang putri dari madura yang
bernama Dewi Supatmi. Dalam perkawinannya Raden Rangga Jaya Sasmita
dengan Dewi Supatmi dikaruniai 3 putra, ketiga putra tersebut adalah
Raden Kanjeng Badrun, Dewi Sukarsih dan Dewi Rara Tangis. Kemudian Raden
Rangga Jaya Sasmita menikah lagi dengan seorang putri yang berasal dari
desa Dandang kecamatan karanggeneng. Dalam perkawinannya mereka di
karuniai seoarang putra yang diberi nama Raden Jamilun.
Dewi Rara Tangis anak ketiga Raden Rangga Jaya Sasmita yang sangat cantik.
Pada
suatu hari Gajah Belang bermain - main disebelah timur wilayah pesisir
pantai utara laut jawa yang tepatnya di Watu Awang. Ia bertemu dengan
seorang gadis yang sangat cantik, gadis itu adalah Dewi Rara Tangis.
Tentu saja sedikit banyak Gajah Belang akan memujinya bahkan lebih dari
pada itu. Gajah Belang sangat terheran – heran melihat kecantikan Dewi
Rara Tangis yang sangat alami. Meskipun Gajah Belang itu memiliki wajah
yang sangat jelek, tetapi Gajah Belang mempunyai kesaktian yang sangat
luar biasa. Kemudian Gajah Belang pun jatuh cinta kepada Dewi Rara
Tangis, begitu juga dengan Dewi Rara Tangisjuga jatuh cinta kepada Gajah
Belang. Akhirnya cinta itu tumbuh subur dihati antara Gajag Belang dan
Dewi Rara Tangis. Mereka berdua adalah pasangan yang seolah – olah tidak
akan terpisahkan. Dewi Rara Tangis anak ketiga Raden Rangga Jaya Sasmita yang sangat cantik.
Dewi Rara Tangis adalah
seorang putri yang sangat cantik sehingga tidak sedikit orang yang
ingin memilikinya. Di tengah – tengah perjalanan cinta antara Gajah
Belang dan Dewi Rara Tangis, ada seorang putra bangsawan yang berasal
dari Tuban yang bernama Jaka Kuncir yang ingin memiliki dan meminang
Dewi Rara Tangis. Begitu juga dengan Indra Soewarna putra dari Kiageng
Rengel ( sambas ) juga ingin menjadi pendamping Dewi Rara Tangis untuk
menjadi istrinya, tapi semua itu tinggallah impian saja. Dewi Rara
Tangis tidak mencintai Indra Soewarna ataupun Jaka Kuncir, ia hanya
mencintai Gajah Belang meskipun Gajah Belang memiliki wajah yang sangat
jelek. Dewi Rara Tangis menolak kepada kedua putra bangsawan itu untuk
dijadikan pendamping hidup karena selain Dewi Rara Tangis tidak
mencintai mereka berdua, mereka berdua mempunyai kepercayaan yang
berbeda, mereka beragama budha.
Raden
Rangga Jaya Sasmita atau ayah Dewi Rara Tangis mengetahui hubungan
anaknya dengan Gajah Belang. Raden Rangga Jaya Sasmita tidak
memperbolehkan kepada anaknya Dewi Rara Tangis supaya tidak lagi
berhubungan dengan Gajah Belang, karena wajah Gajah Belang yang sangat
jelek. Gajah Belang juga merupakan seorang rakyat jelata yang tidak
pantas mempunyai hubungan baik dengan seorang putrid Tumenggung. Raden
Rangga Jaya Sasmita beranggapan bahwa hubungan antara Dewi Rara Tangis
dengan Gajah Belang merupakan suatu penghinaan besar bagi diri Raden
Rangga Jaya Sasmita, karena anaknya yang sangat cantik yang dikagumi
banyak orang mencintai seorang pemuda yang berasal dari rakyat biasa
atau bukan bangsawan.
Raden
Rangga Jaya Sasmita bermaksud untuk menghancurkan hubungan antara Dewi
Rara Tangis dengan Gajah Belang. Namun, segala usaha Raden Rangga Jaya
Sasmita yang ingin memisahkan cinta yang terjalin antara Dewi Rara
Tangis dan Gajah Belang tidak ada hasilnya. Bahkan mereka sangat dekat
dan kuat menjaga hubungan mereka. Hingga berulang kali Raden Rangga Jaya
Sasmita berusaha, namun semua itu sia – sia tidak ada hasilnya. Segala
usaha Raden Rangga Jaya Sasmita itu tidak berhasil, ia ingin membunuh
dengan cara yang licik. Raden Rangga Jaya Sasmita berhasil membunuh
Gajah Belang. Dengan akal licik itu Gajah Belang terbunuh dengan sebuah
panah yang diluncurkan ke arah dada Gajah Belang oleh Raden Rangga Jaya
Sasmita ayah Dewi Rara Tangis. Anak panah yang ada di dada Gajah Belang
tersebut kemudian diambil dengan di cabut oleh Raden Rangga Jaya Sasmita
dan muncullah suatu keajaiban. Setelah di cabutnya anak panah tersebut
mengalirlah darah Gajah Belang yang berwarna putih. Setelah melihat
suatu keajaiban pada diri Gajah Belang, Raden Rangga Jaya Sasmita baru
menyadari atas segala perbuatan yang ia perbuat yang selama ini
mempunyai niat untuk memisahkan hubungan Dewi Rara Tangis anaknya
dengan Gajah Belang. Raden Rangga Jaya Sasmita baru sadar bahwa
perbuatan yang paling buruk selama hidupnya adalah perbuatan yang
dilakukan kepada Gajah Belang.
Dewi
Rara Tangis kemudian mengetahui segala perbuatan ayahnya yakni Raden
Rangga Jaya Sasmita kepada Gajah Belang. Dewi Rara Tangis sangat sedih
setelah mendengar kejadian yang selama ini tidak disangka. Sementara itu
Raden Rangga Jaya Sasmita melihat anak gadisnya yang sedih, ia juga
merasa bahwa membunuh Gajah Belang adalah suatu kesalahan yang sangat
besar. Dewi Rara Tangis marah dengan ayahnya Raden Rangga Jaya Sasmita
dan untuk itu Dewi Rara Tangis ingin segera untuk meninggalkan rumahnya
dan juga keluarganya. Dewi Rara Tangis kemudian meninggalkan rumahnya
dan pergi. Dalam kepergian Dewi Rara Tangis, Raden Rangga Jaya Sasmita
beserta keluarganya sangat kecewa kehilangan seorang gadis yang sangat
cantik yang mana Dewi Rara Tangis tidak akan kembali pulang untuk
selamanya. Dewi Rara Tangis pergi dan tidak kembali pulang hanya untuk
pergi bertapa untuk selama – lamanya. Dalam janjinya Dewi Rara Tangis
akan berusaha untuk menjadi orang yang cantik untuk selama – lamanya.
Dewi Rara Tangis pergi bertapa untuk selamanya hanya untuk mengenang
Gajah Belang dan untuk menjadi orang yang cantik selama – lamanya. Dalam
bahasa jawanya “ DADI WONG SING AYU SAK LAWAS – LAWASE atau SIDO AYU
SAK LAWASE “. Kemudian wilayah itu mempunyai kisah tersendiri, dan untuk
itu orang – orang yang ada disekitar wilayah tersebut akan mengenang
dan mengabadikan menjadi nama atau sebutan untuk sebuah daerah dengan
kata “ DESA SEDAYULAWAS “.
Dengan
demikian nama SEDAYULAWAS hingga saat ini masih abadi dengan sebuah
desa yang aman dan makmur dalam kehidupan penduduknya.
versi :3
Joko Samudro adalah pendekar dari Sampang, Madura. Ia diutus oleh gurunya untuk menyebarkan agama Islam di daerah pantura di Jawa Timur, tepatnya di Lamongan.
Selama di Lamongan, ia tinggal di Blimbing, sebuah desa yang terkenal dg kekayaan ikan dan nelayannya. Hari-harinya Joko Samudro, selain berdak'wah, juga dihabiskan dengan melaut.
Suatu ketika ia bertemu putri Sedayu, anak raja Kisedayu dari kerajaan Panembahan, sebuah kerajaan di suatu tempat (sekarang bernama Sedayulawas) yang tak jauh dari desa Blimbing. Melihat kecantikan putri Sedayu, Joko Samudro bermaksud untuk meminangnya.
Saat ia pergi melamar sang putri, gunung Menjuluk di selatan kerajaan tengah meletus dan mengeluarkan lahar yang tidak henti-henti. Oleh Kisedayu, Joko Samudro diberikan syarat. "Jika kau mampu menutup lahar yang keluar dari gunung Menjuluk itu, kau boleh meminang putriku," kata sang raja.
"Saya akan penuhi syarat itu. Tunggu sampai satu bulan. Saya akan pergi menutup lahar gunung Menjuluk itu," jawab Joko Samudro.
Kemudian Joko Samudro bertapa di desa Blimbing selama satu bulan. Ketika bangun dari pertapaan, ia langsung pergi ke gunung Menjuluk untuk menutup laharnya. Karena letusan lahar api yang panas berkobar itu, sekujur tubuhnya melepuh. Beruntung usahanya telah berhasil.
Setelah berhasil memenuhi syarat sang raja, ia pun pergi melamar sang putri dan menagih janji Kisedayu. Namun melihat tubuh Joko Samudro yang penuh luka dan belang, Putri Sedayu menolak lamarannya. Dengan rasa kecewa, Joko Samudro menyumpah putri Sedayu, "Selepas aku pergi dari sini, kau tidak akan pernah bisa menikah seumur hidupmu. Semua laki-laki akan menjauh darimu."
Joko Samudro kembali ke desa Blimbing. Ia memutuskan untuk tidak menikah dengan siapapun dan bertapa seumur hidupnya. Penduduk kerajaan Panembahan mencari Joko Samudro untuk berterima kasih karena sudah menyelamatkan desa Sedayu. Namun sesampai di Blimbing, mereka hanya bertemu jasad lelaki belang itu. Penduduk Sedayu berbondong-bondong ikut mengubur jasad Joko Samudro.
Orang Blimbing terkejut dan merasa heran kenapa orang-orang Sedayu berbondong-bondong ikut mengubur Joko Samudro. Salah satu penduduk Sedayu menjelaskan bahwa pemuda itu pernah berjasa menyelamatkan desa mereka dari bencana gunung meletus. Ia sangat kuat seperti gajah, dan bahkan ia rela badanya terkena letusan api hingga menjadi belang-belang. Maka dari itu sebagai rasa terima kasih, penduduk Sedayu berdatangan ke Blimbing untuk ikut memakamkannya.
Dari situ pula, penduduk Sedayu dan Blimbing sepakat memberi julukan Joko Samudro sebagai pendekar Gajah Belang.
Sekarang makam sang pendekar berada di desa Blimbing, kecamatan Paciran, kabupaten Lamongan.
0 comments:
Post a Comment