Syekh Malaya berkata lemah lembut, “mengapa sampai ada orang mati yang dimasukkan neraka? Mohon penjelasan yang sebenarnya”.
Kanjeng
Nabi Khidir berkata dengan tersemyum manis, “Wahai Malaya! Maksudnya
begini. Neraka jasmani juga berada di dalam dirimu sendiri, dan yang
diperuntukkan bagi siapa saya yang belum mengenal dan meniru laku
Nabiyullah. Hanya ruh yang tidak mati. Hidupnya ruh jasmani itu sama
dengan sifat hewan, maka akan dimasukkan ke dalam neraka. Juga yang
mengikuti bujuk rayu iblis, atau yang mengikuti nafsu yang merajalela
seenaknya tanpa terkendali, tidak mengikuti petunjuk Gusti Allah SWT.
Mengandalkan ilmu saja, tanpa memperdulikan sesama manusia keturunan
Nabi Adam, itu disebut iman tadlot. Ketahuilah bahwa umat manusia itu
termasuk badan jasmanimu. Pengetahuan tanpa guru itu, ibarat orang
menyembah tanpa mengetahui yang disembah. Dapat menjadi kafir tanpa
diketahui, karena yang disembah kayu dan batu, tidak mengerti apa
hukumnya, itulah kafir yang bakal masuk neraka jahanam.
Adapun
yang dimaksudkan Rud Idhafi adalah sesuatu yang kelak tetap kekal
sampai akhir nanti kiamat dan tetap berbentuk ruh yang berasal dari ruh
Allah. Yang dimaksud dengan cahaya adalah yang memancar terang serta
tidak berwarna, yang senantiasa meserangi hati penuh kewaspadaan yang
selalu mawas diri atau introspeksi mencari kekurangan diri sendiri serta
mempersiapkan akhir kematian nanti. Merasa sebagai anak Adam yang harus
mempertanggungjawabkan segala perbuatan. Ruh Idhafi seudah ada sebelum
tercipta. Syirik itu dapat terjadi, tergantung saat menerima sesuatu
yang ada, itulah yang disebut Jauhar Ning. keenamnya jauhar awal.
Jauhar awal adalah mutiara ibaratnya. Mutiara yang indah penghias raga
agra nampak menarik. Mutiara akan tampak indah menawan. Bermula dari
ibarat ketujuh, dikala mendengarkan sabda Allah, maka Ruh Idhafi akan
menyesuaikan, yang terdapat di dalam Dzat Allah Yang Mutlak. Ruh serba
psrah kepada Dzatullah, itullah yang dimaksudkan Ruh Idhafi. Jauhar awal
itu pula, yang menimbulkan Shalat Daim. Shalat Daim tidak perlu
mengunakan air wudhu, untuk membersihkan khadas tidak disyaratkan.
Itulah shalat batin yang sebenarnya, diperbolehkan makan tidur syahwat
maupun buang kotoran. Demikianlah tadi cara shalat Daim. Perbuatan itu
termasuk hal terpuji, yang sekaligus merupakan perwujudan syukur kepada
Allah. Jauhar tadi bersatu padu menghilangkan sesuatu yang menutupi atau
mempersulit mengetahui keberadaan Allah Yang Terpilih. Adanya itu
menujukkan adanya Allah, yang mustahil kalau tidak berwujud sebelumnya.
Kehidupan
itu seperti layar dengan wayangnya, sedang wayang itu tidak tahu warna
dirinya. Akibat junub sudah bersatu erat tetap bersih badan jisimmu.
Adapun Muhammad badan Allah. Nama Muhammad tidak pernah pisah dengan
nama Allah. Bukakah hidayah itu perlu diyakini? Sebagai pengganti Allah?
Dapat pula disebut utusan Allah. Nabi Muhammad juga termasuk badan
mukmin atau orang yang beriman. Ruh mukmin identik pula dengan Ruh
Idhafi dalam keyakinanmu. Disebut iman maksum, kalau sudah mendapat
ketetapan sebagai panutan jati. Bukankah demikian itu pengetahuanmu?
Kalau tidak hidup begitu, berarti itu sama dengan hewan yang tidak tahu
adanya sesuatu di masa yang telah lewat. Kelak, karena tidak mengetahui
ke-Islaman, maka matinya tersesat, kufur serta kafir badannya. Namun
bagi yang telah mendapatkan pelajaran ini, segala permasalahan
dipahamilebih seksama baru dikerjakan, Allah itu tidak berjumlah tiga.
Yang menjadi suri tauladan adalah Nabi Muhammad. Bukankah sebenarnya
orang kufur itu, mengingkari empat masalah prinsip. Di antaranya bingung
karena tiada pedoman manusia yang dapat diteladani. Kekafiran
mendekatkan pada kufur kafir. Fakhir dekat dengan kafir. Sebabnya karena
kafir itu, buta dan tuli tidak mengerti tentang surga dan neraka.
Fakhir tidak akan mendekatkan pada Tuhan. Tidak mungkin terwujud
pendekatan ini, tidak menyembah dan memuji, karena kekafirannya. Seperti
itulah kalau fakhir terhadap Dzatullah. Dan sesungguhnya Gusti Allah,
mematikan kefakhiran manusia, kepastianny ada di tanga Allah
semata-mata. Adapun wujud Dzatullah itu, tidak ada stu makhluk pun yang
mengetahui kecuali Allah sendiri. Ruh Idhafi menimbulkan iman. Ruh
Idhafi berasal dari Allah Yang Maha Esa, itulah yang disebut iman
tauhid. Meyakini adanya Allah juga adanya Muhammad sebagai Rasulullah.
Tauhid hidayah yang sudah ada padamu, menyatu dengan Tuhan Yang
Terpilih. Menyatu dengan Gusti Allah, baik di dunia maupun di akhirat.
Dan kamu harus menyatu bahwa Gusti Allah itu ada dalam dirimu. Ruh
Idhafi ada di dalam dirimu. Makrifat itu sebutannya. Hidupnya disebut
Syahadat, hidup tunggal didalam hidup. Sujud rukuk sebagai penghiasnya.
Rukuk berarti dekat dengan Tuhan Pilihan. Penderitaan yang selalu
menyertai menjelang ajal tidak akan terjadi padamu, jangan takut
menghadapi sakaratil maut. Jangan ikut-ikutan takut menjelang
pertemuanmu dengan Allah. Perasaan takut itulah yang disebut dengan
sekarat.
Ruh
Idhafi tidak akan mati. Hidup mati, mati hidup. Akuilah
sedalam-dalamnya bahwa keberadaanmu itu, terjadi karena Allah itu hidup
dan menghidupi dirimu, dan menghidupi segala yang hidup. Sastra Alif
(huruf alif) harus dimintakan penjelasannya pada guru. Jabar jer-nya pun
harus berani susah payah mendalaminya. Terlebih lagi poengetahuan
tentang kafir dan syirik! Sesungguhnya semua itu, tidak dapat dijelaskan
dengan tepat maksud sesungguhnya. Orang yang menjelaskan syariat itu
berarti sudah mendapatkan anugrah sifat Gusti Allah. Sebagai sarana
pengabdian hamba kepada Gusti Allah. Yang menjalankan shalat
sesungguhnya raga. Raga yang shalat itu terdorong oleh adanya iman yang
hidup pada diri orang yang menjalankannya. Seandainya nyawa tidak hidup,
maka Lam Tamsyur (maka tidak akan menolong) semua perbuatan yang
dijalankan. Secara yang tersurat, shalat itu adalah perbuatan dan
kehendak orang yang menjalankan, namun sebenarnya Allah-lah yang
berkehendak atas hambanya. Itulah hakikat dari Tuhan penciptanya. Ruh
Idhafi berada di tangan orang mukmin. Semua ruh berada di tangan-Nya.
Yaitu terdapat pada Ruh Idhafi. Ruh Idhafi adalah sifat jamal (sifat
yang bagus atau indah) keindahan yang berasal Dzatullah. Ruh Idhafi nama
sebuah tingkatan (maqom), yang tersimpan pada diri utusan Allah
(Rasulullah). Syarat jisim lathif (jasad halus0 itu, harus tetap hidup
dan tidak boleh mati.
Cahayanya
berasal dari ruh itu, yang terus menerus meliputi jasad. Yang
mengisayaratkan sifat jalal (sifat yang perkasa) dan sekaligus
mengisyaratkat adanya sifat jamal (sifat keindahan). Jauhar awal mayit
(mutiara awal kematian) itu, memberi isyarat hilangnya diri ini. Setelah
semua menemui kematian di dunia, maka akan berganti hidup di akherat.
Kurang lebih tiga hari perubahan hidup itu pasti terjadi. Asal mula
manusia terlahir, dari adanya Ayah, Ibu serta Tuhan Yang Maha Pencipta.
Satu kelahiran berasal dari tiga asal lahir. Ya, itulah isyarat dari
tiga hari. Setelah dititipkan selama tujuh hari, maka dikembalikan
kepada yang meninipkan (yang memberi amanat). Titipan itu harus seperti
sedia kala. Bukankah tauhid itu sebagai srana untuk makrifat? Titipan
yang ketiga puluh hari, itu juga termasuk juga titipan, yang ada hanya
kemiripan dengan yang tujuh hari. Kalau menangis mengeluarkan air mata
karena menyesali sewaktu masih hidup. Seperti teringat semasa kehidupan
itu berasal dari Nur. Yang mana cahayanya mewujudkan dirimu. Hal itulah
yang menimbulkan kesedihan dan penyesalan yang berkepanjangan. Tak
terkecuali siapun yang merasakan itu semua, sebagaimana kamu mati, saya
merasa kehilangan.
Mati
atau hilang bertepatan hari kematian yang keempat puluh hari.
Bagaimanakah yang lebih tepat untuk melukiskan persamaan sesama makhluk
hidup secara keseluruhannya? Allah dan Muhammad semuannya berjumlah
satu. Seratuspun dapat dilukiskan seperti satu bentuk, seperti
diibaratkan dengan adanya cahaya yang bersember dari cahaya Muhammad
yang sesungguhnya. Sama hal pada saat kamu memohon sesuatu. Ruh jasad
hilang di dalamnya, kehadirat Tuhan Yang Maha Pemberi. Tepat pada hari
keseribu, tidak ada yang tertinggal. Kembalinya pada allah sudah dalam
keaadaan yang sempurna. Sempurna seperti mula pertama dalam keadaan yang
sempurna. Sempurna seperti mula pertama diciptakan”.
Syekh
Malaya terang hatinya, mendengarkan pelajaran yang baru diterima dari
gurunya Syekh Mahyuningrat Kanjeng Nabi Khidir. Syekh Malaya senang
hatinya sehingga beliu belum mau keluar dari dalam tubuh Kanjeng Nabi
Khidir. Syekh Malaya menghaturkan sembah, sambil berkata manis seperti
gula madu. “Kalau begitu hamba tidak mau keluar dari raga dalam tuan.
Lebih nyaman di sini saja yang bebas dari sengsara derita, tiada selera
makan tidur, tidak merasa ngantuk dan lapar, tidak harus bersusah payah
dan bebas dari rasa pegal dan nyeri. Yang terasa hanyalah rasa nikmat
dan manfaat”. Kanjeng Nabi Khidir memperingatkan, “yang demikian tidak
boleh kalau tanpa kematian”.
Kanjeng
Nabi Khidir semakin iba kepada pemohon yang meruntuhkan hatinya. Kata
Kanjeng nabi Khidir, “kalau begitu yang awas sajalah terhadap hambatan
upaya. Jangan sampai kau kembali. Memohonlah yang benar dan waspada.
Anggaplah kalau sudah kau kuasai, jangan hanya digunakan dengan dasar
bila ingat saja, karena hal itu sebagai rahasia Allah. Tidak
diperkenankan mengobrol kepada sesama manusia, kalau tanpa seizin-Nya!
Sekiranya akan ada yang mempersolakan, memperbincangkan masalah ini!
Jangan sampai terlanjur! Jangan sampai membanggakan diri! Jangan peduli
terhadap gangguan, cobaan hidup! Tapi justru terimalah dengan sabar!
Cobaan hidup yang menuju kematian, ditimbulkan akibat buah pikir. Bentuk
yang sebenarnya ialah tersimpan rapat di dalam jagadmu! Hidup tanpa ada
yang menghidupi kecuali Allah saja. Tiada antara lamanya tentang adanya
itu. Bukankah sudah berada di tubuh? Sungguh, bersama lainnya selalu
ada dengan kau! Tak mungkin terpisahkan! Kemudian tidak pernah
memberitahunakan darimana asalnya dulu. Yang menyatu dalam gerak
perputaran bawana. Bukankah berita sebenarnya sudah ada padamu? Cara
mendengarnya adalah denga ruh sejati, tidak menggunakan telinga. Cara
melatihnya, juga tanpa dengan mata. Adpun telingannya, matanya yang
diberikan oleh allah. Ada padamu itu. Secara batinnya ada pada sukma itu
sendiri. Memang demikianlah penerapannya. Ibarat seperti batang pohon
yang dibakar, pasti ada asap apinya, menyatu dengan batang pohonnya.
Ibarat air dengan alunnya. Seperti minyak dengan susu, tubuhnya dikuasai
gerak dan kata hati. Demikian pun dengan Hyang Sukma, sekiranya kita
mengetahui wajah hamba Tuhan dan sukma yang kita kehendaki ada,
diberitahu akan tempatnya seperti wayang ragamu itu. Karena datanglah
segala gerak wayang. Sedangkan panggungnya jagd. Bentuk wayang adalah
sebagai bentuk badan atau raga. Bergerak bila digerakkan. Segala-galanya
tanpa kelihatan jelas, perbuatan dengan ucapan. Yang berhak menentukan
semuanya, tidak tampak wajahnya. Kehendak justru tanpa wujud dalam
bentuknya. Karena sudah ada pada dirimu. Permisalan yang jelas ketika
berhias.
Yang
berkaca itu Hyang Sukma, adapun bayangan dalam kaca itu ialah dia yang
bernama manusia sesungguhnya, terbentuk di dalam kaca. Lebih besar lagi
pengetahuan tentang kematian ini dibandingkan dengan kesirnaan jagad
raya, karena lebih lembutseperti lembunya air. Bukankah lebih lembut
kematian manusia ini? Artinya lembut kesirnaan manusia? Artinya lebih
dari, karena menentukan segalanya. Sekali lagi artinya lembut ialah
sangat kecilnya. Dapat mengenai yang kasar dan yang kecil. Mencakup
semua yang merangkak, melata tiada bedanya, benar-benar serba lebih.
Lebih pula dalam menerima perintah dan tidak boleh mengandalkan pada
ajaran dan pengetahuan. Karena itu bersungguh-sungguhlah menguasainya.
Pahamilah liku-liku solah tingkah kehidupan manusia! Ajaran itu sebagai
ibarat benih sedangkan yang diajari ibarat lahan.
Misal
kacang dan kedelai. Yang disebar di atas batu. Kalau batunya tanpa
tanah pada saat kehujanan dan kepanasan, pasti tidak tidak akan tumbuh.
Tapi bila kau bijaksana, melihatmu musnahkanlah pada matamu! Jadikanlah
penglihatanmu sukma dan rasa. Demikian pula wujudmu, suaramu. Serahkan
kembali kepada yang Empunya suara! Justru kau hanya mengakui saja
sebagai pemiliknya. Sebenarnya hanya mengatasnamai saja. Maka dari itu
kau jangan memiliki kebiasaan yang menyimpang, kecuali hanya kepada
Hyang Agung. Dengan demikian kau Hangraga Sukma. Yaitu kata hatimu sudah
bulat menyatu dengan kawula Gusti. Bicarakanlah manurut pendapatmu!
Bila pendapatmu benar-benar meyakinkan, bila masih merasakan sakit dan
was-was, berarti kejangkitan bimbang yang sebenarnya. Bila sudah menyatu
dalam satu wujud. Apa kata hatimu dan apa yang kau rasakan. Apa yang
kau pikir terwujud ada. Yang kau cita-citakan tercapai. Berarti sudah
benar untukmu. Sebagai upah atas kesanggupanmu sebagai khalifah di
dunia. Bila sudah memahami dan menguasai amalan dan ilmu ini, hendaknya
semakin cermat dan teliti atas berbagai masalah.
Masalah
itu satu tempat dengan pengaruhnya. Sebagai ibaratnya sekejap pun tak
boleh lupa. Lahiriah kau landasilah dengan pengetahuan empat hal.
Semuanya tanggapilah secara sama. Sedangkan kelimanya adalah dapat
tersimpan dengan baik, berguna dimana saja! Artinya mati di dalam hidup.
Atau sama dengan hidup di dalam mati. Ialah hidup abadi. Yang mati itu
nafsunya. Lahiriah badan yang menjalani mati. Tertimpa pada jasad yang
sebenarnya. Kenyataannya satu wujud. Raga sukma, sukma muksa. Jelasnya
mengalami kematian! Syekh Malaya, terimalah hal ini sebagai ajaranku
dengan senang hatimu! Anugrah berupa wahyu akan datang kepadamu. Seperti
bulan yang diterangi cahaya temaram. Bukankah turnya wahyu meninggalkan
kotoran? Bersih bening, hilang kotorannya”.
Kemudian
Kanjeng Nabi Khidir berkata dengan lembut dan tersenyum. “Tak ada yang
dituju, semua sudah tercakup haknya. Tidak ada yang diharapkan dengan
keprawiraan, kesaktian semuanya sudah berlalu. Toh semuanya itu alat
peperangan”. Habislah sudah wejangan Kanjeng Nabi Khidir. Syekh Malaya
merasa sungkan sekali di dalam hati. Mawas diri ke dalam dirinya
sendiri. Kehendak hati rasanya sudah mendapat petunjuk yang cukup. Rasa
batinya menjelajah jagad raya tanpa sayap. Keseluruh jagad raya,
jasadnya sudah terkendali. Menguasai hakekat semua ilmu. Misalnya bunga
yang masih lam kuncup, sekarang sudah mekar berkembang dan baunya
semerbak mewangi. Karena sudah mendapat san Pancaretna, kemudian Sunan
Kalijaga disuruh kelura dari raga Kanjeng Nabi Khidir kembali ke alamnya
semula”.
Lalu
Kanjeng Nabi Khidir berkata, “He, Malaya. Kau sudah diterima Hyang
Sukma. Berhasil menyebarkan aroma Kasturi yang sebenarnya. Dan rasa yang
memanaskan hatimu pun lenyap. Sudah menjelajahi seluruh permukaan bumi.
Artinya godaan hati ialah rasa qonaah yang semakin dimantapkan. Ibarat
memakai pakaian sutra yang indah. Selalu mawas diri. Semua tingkah laku
yang halus. Diserapkan kedalam jiwa, dirawat seperti emas. Dihiasi
dengan keselamatan, dan dipajang seperti permata, agar mengetahui akan
kemauan berbagai tingkah laku manusia. Perhaluslah budi pekermu atau
akhlak ini! Warna hati kita yang sedang mekar baik, sering dinamakan
Kasturi Jati. Sebagai pertanda bahwa kita tidak mudah goyah, terhadap
gerak-gerik, sikap hati yang ingin menggapai sesuatu tanpa ilmu, ingin
mendalami tentang ruh itu justru keliru. Lagi pula secara penataan, kita
itu ibaratnya busana yang dipakai sebagai kerudung. Sedangkan yang ikat
kepala sebagai sarungmu. Kemudian terlibat ingatan ketika dulu. Ibarat
mendalami mati ketika berada di dalam rongga ragaku.
Tampak
oleh Sunan Kalijaga cahaya. Yang warnanya merah dan kuning itu, sebagai
hambatan yang menghadang agar gagal usaha atauu ikhtiar atau
cita-citanya. Dan yang putih di tengah itulah yang sebenarnya harus
diikuti. Kelimanya harus tetap diwaspadai. Kuasailah seketika jangan
sampai lupa! Bisa dipercaya sifatnya. Berkat kesediaanku berbuat sebagai
penyekat. Untuk alat pembebas sifat berbangga diri. Yang selalu
didambakan siang dan malam. Bukankah aku banyak sekali melekat atau
mengetahui caranya pemuka agama yang ternyata salah dalam penafsiran.
Dan penyampaian keterangannya? Anggapannya sudah benar. Tak tahunya
malah mematikan pengertian yang benar. Akibatnya terperosok dalam
penerapannya. Ada pemuka agama yang ibaratnya menjadi murung. Ia hanya
sekedar mencari tempat bertengger saja. Yaitu pada batang kayu yang baik
rimbun, lebat buahnya, kuat batangnya. Untuk kemuliaan hidup baru. Ada
orang yang berkedudukan, ada yang ikut orang kaya. Akhirnya di
masyarakatkan. Ibaratnya seperti sekedar memperoleh kemuliaan sepele.
Jadinya tersesat-sesat. Ada pula yang justru memiliki jalan terpaksa.
Menumpuk
kekayaan harta dan istri banyak. Ada pula yang memilih jalan menguasai
putranya. Putra yang bakal menguasai hak asasi orang per orang. Semuanya
ingin mendapatkan yang serba lebih di dalam memiliki jalan mereka.
Kalau demikian halnya, menurut pendapatku, belumlah mereka disebut
pemuka agama yang berserah diri sepenuhnya kepada Allah, tapi masih
berkeinginan pribadi atau berambisi. Agar semua itu menjunjung harkat
dan martabat. Tatanan yang tidak pasti, belum bisa disebut manusia
utama. Yang demikian itu menurut anggapannya dan perasaannya mendapatkan
kebahagiaan, kekayaan dan mengerti hak yang benar. Bila kemudian
tertimpa kedudukan, terlanjur terbiasa. Memilih jalan sembarang tempat,
tanpa mengahasilkan jerih payahnya dan tanpa hasil. Dalam arti mengalami
kegagalan total. Setidak-tidaknya menimbulkan kecurigaan. Apa kebiasaan
ketika hidup didunia. Ketika menghadapi datangnya maut, disitulah
biasanya tidak kuat menerima ajal. Merasa berat meninggalkan kehidupan
dunia yang tersangkal lagi. Pokoknya masih lekat sekali pada kehidupan
duniawi. Begitulah beratnya amencari kemuliaan. Tidak boleh lagi merasa
terlekat kepada anak-istri. Pada saat-saat menghadap ajatnya. Bila salah
menjawab pertanyaannya bumi, lebih baik jangan jadi manusia! Kalau
matinya tanpa pertanggungjawaban. Bila kau sudah merasa hatimu benar.
Akan hidup abadi tanpa hisab. Akibatnya, tubuh bumi itu keterdiamannya
tidak membantu. Kesepiannya tidak mencair. Tidak mempedulikan
pembicaraan orang lain yang ditujukan kepadanya. Yaitu bagaimana hilang
dan mati bersama raganya ialah diidamkannya. Sehingga mempertinggi
semedinya, untuk mengejar keberhasilan. Tapi sayang tanpa petunjuk
Allah, apalagi hanya semedi semata. Tidak disertai dukungan ilmu.
0 comments:
Post a Comment