Get Gifs at CodemySpace.com
funny gifsPerkuat dirimu dengan ikhtiar dan amal Teguhlah dalam sikap tak mementingkan dunia Namun jangan jadikan pengetahuan rohani sebagai tujuan Renungi dalam-dalam dirimu agar niatmu terkabul Kau adalah pancaran kebenaran ilahi Jalan terbaik ialah tidak mamandang selain Dia.

Sunday 11 December 2011

Syekh Siti Jenar

Syekh Siti Jenar lahir sekitar tahun 829 H/1348 C/1426 M (dilingkungan Pakuwuan Caruban, pusat kota Caruban larang waktu itu, yg sekarang lebih dikenal sebagai Astana japura, sebelah tenggara Cirebon. Suatu lingkungan yg multi-etnis, multi-bahasa dan sebagai titik temu kebudayaan serta peradaban berbagai suku.
Selama ini, silsilah Syekh Siti Jenar masih sangat kabur. Kekurangjelasan asal-usul ini juga sama dgn kegelapan tahun kehidupan Syekh Siti Jenar sebagai manusia sejarah.
Pengaburan tentang silsilah, keluarga dan ajaran Beliau yg dilakukan oleh penguasa muslim pada abad ke-16 hingga akhir abad ke-17. Penguasa merasa perlu untuk “mengubur” segala yg berbau Syekh Siti Jenar akibat popularitasnya di masyarakat yg mengalahkan dewan ulama serta ajaran resmi yg diakui Kerajaan Islam waktu itu. Hal ini kemudian menjadi latar belakang munculnya kisah bahwa Syekh Siti Jenar berasal dari cacing.
Dalam sebuah naskah klasik, cerita yg masih sangat populer tersebut dibantah secara tegas,
Wondene kacariyos yen Lemahbang punika asal saking cacing, punika ded, sajatosipun inggih pancen manungsa darah alit kemawon, griya ing dhusun Lemahbang.” [Adapun diceritakan kalau Lemahbang (Syekh Siti Jenar) itu berasal dari cacing, itu salah. Sebenarnya ia memang manusia berdarah kecil saja (rakyat jelata), bertempat tinggal di desa Lemah Abang]….<
Jadi Syekh Siti Jenar adalah manusia lumrah hanya memang ia walau berasal dari kalangan bangsawan setelah kembali ke Jawa menempuh hidup sebagai petani, yg saat itu, dipandang sebagai rakyat kecil oleh struktur budaya Jawa, disamping sebagai wali penyebar Islam di Tanah Jawa.
Syekh Siti Jenar yg memiliki nama kecil San Ali dan kemudian dikenal sebagai Syekh ‘Abdul Jalil adalah putra seorang ulama asal Malaka, Syekh Datuk Shaleh bin Syekh ‘Isa ‘Alawi bin Ahmadsyah Jamaludin Husain bin Syekh ‘Abdullah Khannuddin bin Syekh Sayid ‘Abdul Malikal-Qazam. Maulana ‘Abdullah Khannuddin adalah putra Syekh ‘Abdul Malik atau Asamat Khan. Nama terakhir ini adalah seorang Syekh kalangan ‘Alawi kesohor di Ahmadabad, India, yg berasal dari Handramaut. Qazam adalah sebuah distrik berdekatan dgn kota Tarim di Hadramaut.
Syekh ‘Abdul Malik adalah putra Syekh ‘Alawi, salah satu keluarga utama keturunan ulama terkenal Syekh ‘Isa al-Muhajir al-Bashari al-‘Alawi, yg semua keturunannya bertebaran ke berbagai pelosok dunia, menyiarkan agama Islam. Syekh ‘Abdul Malik adalah penyebar agama Islam yg bersama keluarganya pindah dari Tarim ke India. Jika diurut keatas, silsilah Syekh Siti Jenar berpuncak pada Sayidina Husain bin ‘Ali bin Abi Thalib, menantu Rasulullah. Dari silsilah yg ada, diketahui pula bahwa ada dua kakek buyutnya yg menjadi mursyid thariqah Syathariyah di Gujarat yg sangat dihormati, yakni Syekh Abdullah Khannuddin dan Syekh Ahmadsyah Jalaluddin. Ahmadsyah Jalaluddin setelah dewasa pindah ke Kamboja dan menjadi penyebar agama Islam di sana.
Adapun Syekh Maulana ‘sa atau Syekh Datuk ‘Isa putra Syekh Ahmadsyah kemudian bermukim di Malaka. Syekh Maulana ‘Isa memiliki dua orang putra, yaitu Syekh Datuk Ahamad dan Syekh Datuk Shaleh. Ayah Syekh Siti Jenar adalah Syekh Datuk Shaleh adalah ulama sunni asal Malaka yg kemudian menetap di Cirebon karena ancaman politik di Kesultanan Malaka yg sedang dilanda kemelut kekuasaan pada akhir tahun 1424 M, masa transisi kekuasaan Sultan Muhammad Iskandar Syah kepada Sultan Mudzaffar Syah. Sumber-sumber Malaka dan Palembang menyebut nama Syekh Siti Jenar dgn sebutan Syekh Jabaranta dan Syekh ‘Abdul Jalil.
Pada akhir tahun 1425, Syekh Datuk Shaleh beserta istrinya sampai di Cirebon dan saat itu, Syekh Siti Jenar masih berada dalam kandungan ibunya 3 bulan. Di Tanah Caruban ini, sambil berdagang Syekh Datuk Shaleh memperkuat penyebaran Islam yg sudah beberapa lama tersiar di seantero bumi Caruban, besama-sama dgn ulama kenamaan Syekh Datuk Kahfi, putra Syehk Datuk Ahmad. Namun, baru dua bulan di Caruban, pada tahun awal tahun 1426, Syekh Datuk Shaleh wafat.
Sejak itulah San Ali atau Syekh Siti Jenar kecil diasuh oleh Ki Danusela serta penasihatnya, Ki Samadullah atau Pangeran Walangsungsang yg sedang nyantri di Cirebon, dibawah asuhan Syekh datuk Kahfi.
Jadi walaupun San Ali adalah keturunan ulama Malaka, dan lebih jauh lagi keturunan Arab, namun sejak kecil lingkungan hidupnya adalah kultur Cirebon yg saat itu menjadi sebuah kota multikultur, heterogen dan sebagai basis antarlintas perdagangan dunia waktu itu.
Saat itu Cirebon dgn Padepokan Giri Amparan Jatinya yg diasuh oleh seorang ulama asal Makkah dan Malaka, Syekh Datuk Kahfi, telah mampu menjadi salah satu pusat pengajaran Islam, dalam bidang fiqih dan ilmu ‘alat, serta tasawuf. Sampai usia 20 tahun, San Ali mempelajari berbagai bidang agama Islam dgn sepenuh hati, disertai dgn pendidikan otodidak bidang spiritual.
Nasab Syekh Siti Jenar Bersambung Sampai ke Rasulullah  diakui oleh Robithoh Azmatkhan
Abdul Jalil Syeikh Siti Jenar bin
1. Datuk Shaleh bin
2. Sayyid Abdul Malik bin
3. Sayyid Syaikh Husain Jamaluddin @ Jumadil Qubro @ Jamaluddin Akbar Al-Khan (Gujarat, India) bin
4. Sayyid Ahmad Shah Jalal @ Ahmad Jalaludin Al-Khan bin
5. Sayyid Abdullah AzhmatKhan (India) bin
6. Sayyid Amir ‘Abdul Malik Al-Muhajir AzhmatKhan (Nasrabad) bin
7. Sayyid Alawi Ammil Faqih (Hadhramaut, Yaman) bin
8. Muhammad Sohib Mirbath (lahir di Hadhramaut, Yaman dimakamkan di Oman) bin
9. Sayyid Ali Kholi’ Qosim bin
10. Sayyid Alawi Ats-Tsani bin
11. Sayyid Muhammad Sohibus Saumi’ah bin
12. Sayyid Alawi Awwal bin
13. Sayyid Al-Imam ‘Ubaidillah bin
14. Ahmad al-Muhajir (Hadhramaut, Yaman ) bin
15. Sayyid ‘Isa Naqib Ar-Rumi (Basrah, Iraq) bin
16. Sayyid Muhammad An-Naqib bin
17. Sayyid Al-Imam Ali Uradhi bin
18. Sayyidina Ja’far As-Sodiq (Madinah, Saudi Arabia) bin
19. Sayyidina Muhammad Al Baqir bin
20. Sayyidina ‘Ali Zainal ‘Abidin {menikah dengan (34.a) Fathimah binti (35.a) Sayyidina Hasan bin Ali bin Abi Tholib, kakak Imam Hussain} bin
21. Al-Imam Sayyidina Hussain bin
(22.a) Imam Ali bin (23.a)Abu Tholib dan (22.b) Fatimah Az-Zahro binti (23.b) Muhammad SAW
Tentang Silsilah ke-atas dr Syeikh Siti Jenar dan para walisongo lainnya sudah diakui oleh para ulama nasab dari Yaman, Malaysia dan Thailand..para sayyid dan kalangan habaib yg memahami ilmu nasab banyak yg mencantumkannya di bawah nama fam. Azmatkhan, dan sudah menulis beberapa kitab mengenai ini, dan diakui Robithoh Alawiyah, Naqobatul Asyrof dan Robithoh Azmatkhan ..(Tentunya disini tidak ada nama tokoh pewayangan) untuk keterangan lebih lanjut bisa buka situs www.azmatkhanalhusaini.com dan bisa tanya jawab dengan Kyai Ali bin Badri selaku pengurusnya …wassalam
Manunggaling Kawula Gusti
Dalam ajarannya ini, pendukungnya berpendapat bahwa Syekh Siti Jenar tidak pernah menyebut dirinya sebagai Tuhan. Manunggaling Kawula Gusti dianggap bukan berarti bercampurnya Tuhan dengan Makhluknya, melainkan bahwa Sang Pencipta adalah tempat kembali semua makhluk. Dan dengan kembali kepada Tuhannya, manusia telah menjadi sangat dekat dengan Tuhannya.
Dan dalam ajarannya, ‘Manunggaling Kawula Gusti’ adalah bahwa di dalam diri manusia terdapat ruh yang berasal dari ruh Tuhan sesuai dengan ayat Al Qur’an yang menerangkan tentang penciptaan manusia (“Ketika Tuhanmu berfirman kepada malaikat: “Sesungguhnya Aku akan menciptakan manusia dari tanah. Maka apabila telah Kusempurnakan kejadiannya dan Kutiupkan kepadanya roh Ku; maka hendaklah kamu tersungkur dengan bersujud kepadanya (Shaad; 71-72)”)>. Dengan demikian ruh manusia akan menyatu dengan ruh Tuhan dikala penyembahan terhadap Tuhan terjadi. Perbedaan penafsiran ayat Al Qur’an dari para murid Syekh Siti inilah yang menimbulkan polemik bahwa di dalam tubuh manusia bersemayam ruh Tuhan, yaitu polemik paham ‘Manunggaling Kawula Gusti’.

Pengertian Zadhab
Dalam kondisi manusia modern seperti saat ini sering temui manusia yang mengalami hal ini terutama dalam agama Islam yang sering disebut zadhab atau kegilaan berlebihan terhadap Illa yang maha Agung atau Allah.
Mereka belajar tentang bagaimana Allah bekerja, sehingga ketika keinginannya sudah lebur terhadap kehendak Allah, maka yang ada dalam pikirannya hanya Allah, Allah, Allah dan Allah…. disekelilingnya tidak tampak manusia lain tapi hanya Allah yang berkehendak, Setiap Kejadian adalah maksud Allah terhadap Hamba ini…. dan inilah yang dibahayakan karena apabila tidak ada GURU yang Mursyid yang berpedoman pada AlQuran dan Hadits maka hamba ini akan keluar dari semua aturan yang telah ditetapkan Allah untuk manusia.Karena hamba ini akan gampang terpengaruh syaitan, semakin tinggi tingkat keimanannya maka semakin tinggi juga Syaitan menjerumuskannya.Seperti contohnya Lia Eden dll… mereka adalah hamba yang ingin dekat dengan Allah tanpa pembimbing yang telah melewati masa ini, karena apabila telah melewati masa ini maka hamba tersebut harus turun agar bisa mengajarkan yang HAK kepada manusia lain seperti juga Rasullah pun telah melewati masa ini dan apabila manusia tidak mau turun tingkatan maka hamba ini akan menjadi seprti nabi Isa AS.Maka Nabi ISA diangkat Allah beserta jasadnya. Seperti juga Syekh Siti Jenar yang kematiannya menjadi kontroversi.Dalam masyarakat jawa kematian ini disebut “MUKSO” ruh beserta jasadnya diangkat Allah.
Hamamayu Hayuning Bawana
Prinsip ini berarti memakmurkan bumi. Ini mirip dengan pesan utama Islam, yaitu rahmatan lil alamin. Seorang dianggap muslim, salah satunya apabila dia bisa memberikan manfaat bagi lingkungannya dan bukannya menciptakan kerusakan di bumi.
Kontroversi
Kontroversi yang lebih hebat terjadi di sekitar kematian Syekh Siti Jenar. Ajarannya yang amat kontroversial itu telah membuat gelisah para pejabat kerajaan Demak Bintoro. Di sisi kekuasaan, Kerajaan Demak khawatir ajaran ini akan berujung pada pemberontakan mengingat salah satu murid Syekh Siti Jenar, Ki Ageng Pengging atau Ki Kebokenanga adalah keturunan elite Majapahit (sama seperti Raden Patah) dan mengakibatkan konflik di antara keduanya.
Dari sisi agama Islam, Walisongo yang menopang kekuasaan Demak Bintoro, khawatir ajaran ini akan terus berkembang sehingga menyebarkan kesesatan di kalangan umat. Kegelisahan ini membuat mereka merencanakan satu tindakan bagi Syekh Siti Jenar yaitu harus segera menghadap Demak Bintoro. Pengiriman utusan Syekh Dumbo dan Pangeran Bayat ternyata tak cukup untuk dapat membuat Siti Jenar memenuhi panggilan Sri Narendra Raja Demak Bintoro untuk menghadap ke Kerajaan Demak. Hingga konon akhirnya para Walisongo sendiri yang akhirnya datang ke Desa Krendhasawa di mana perguruan Siti Jenar berada.
Para Wali dan pihak kerajaan sepakat untuk menjatuhkan hukuman mati bagi Syekh Siti Jenar dengan tuduhan telah membangkang kepada raja. Maka berangkatlah lima wali yang diusulkan oleh Syekh Maulana Maghribi ke Desa Krendhasawa. Kelima wali itu adalah Sunan Bonang, Sunan Kalijaga, Pangeran Modang, Sunan Kudus, dan Sunan Geseng.
Sesampainya di sana, terjadi perdebatan dan adu ilmu antara kelima wali tersebut dengan Siti Jenar. Menurut Siti Jenar, kelima wali tersebut tidak usah repot-repot ingin membunuh Siti Jenar. Karena beliau dapat meminum tirtamarta (air kehidupan) sendiri. Ia dapat menjelang kehidupan yang hakiki jika memang ia dan budinya menghendaki.
Tak lama, terbujurlah jenazah Siti Jenar di hadapan kelima wali. Ketika hal ini diketahui oleh murid-muridnya, serentak keempat muridnya yang benar-benar pandai yaitu Ki Bisono, Ki Donoboyo, Ki Chantulo dan Ki Pringgoboyo pun mengakhiri “kematian”-nya dengan cara yang misterius seperti yang dilakukan oleh gurunya di hadapan para wali.
Kisah Pada Saat Pasca Kematian
Kilau kemilau memancar dari jenazah Siti Jenar. Terdapat kisah yang menyebutkan bahwa ketika jenazah Siti Jenar disemayamkan di Masjid Demak, menjelang salat Isya, semerbak beribu bunga dan cahaya Jenazah Siti Jenar sendiri dikuburkan di bawah Masjid Demak oleh para wali. Pendapat lain mengatakan, ia dimakamkan di Masjid Mantingan, Jepara, dengan nama lain. Setelah tersiar kabar kematian Syekh Siti Jenar, banyak muridnya yang mengikuti jejak gurunya untuk menuju kehidupan yang hakiki. Di antaranya yang terceritakan adalah Kiai Lonthang dari Semarang Ki Kebokenanga dan Ki Ageng Tingkir.
Syekh Siti Jenar, terdapat beberapa pertanyaan yang ingin saya ajukan melalui rubrik “Masail Sufiah” ini.

1. Apakah tindakan Walisongo yang telah membunuh Syekh Siti Jenar itu benar?
2. Bisakah tokoh ini menjadi salah satu pembahasan Sufi edisi mendatang?
3. Jika benar apa yang dimaksud dengan ucapan Syekh Siti Jenar itu sama sebagaimana yang dimaksudkan dengan ucapan al-Hallaj, apakah tidak berarti bahwa tindakan Walisongo itu juga salah?

Sekian saja pertanyaan dari saya. Semoga saya mendapatkan jawaban yang memuaskan tentang kisah menarik ini.
Jawab:
Sejarah Syekh Siti Jenar, salah satu dari generasi para Wali di tanah Jawa, memang berbeda dengan Husein bin Manshur al-Hallaj, walaupun tragedi historisnya hampir bermiripan, tetapi sebenarnya kasusnya juga berbeda. Jika al-Hallaj memang memiliki otentitas sejarah dengan data-data akurat, bahkan karya-karyanya yang bisa dibaca oleh generasi sufi, seperti Kitab Ath-Thawasin dan yang lainnya, lain lagi dengan Syekh Siti Jenar.
Data tentang Syekh Siti Jenar ini, lebih banyak menggunakan data sekunder. Sehingga para sejarawan Islam sendiri banyak yang tidak bisa menunjukkan orisinalitasnya, lebih banyak interpretasi dari para penulis sejarah itu sendiri. Film Walisongo yang sangat terkenal dengan eksekusi terhadap Syekh Siti Jenar juga tidak sepenuhnya benar. Apalagi di kemudian hari banyak sekali sejarah dengan versi yang berbeda-beda. Ironisnya, sejarah yang tidak akurat itu dianut oleh sekelompok aliran kebatinan di Jawa yang mengklaim dirinya bermadzhab Syekh Siti Jenar, yang sangat ekstrem, yakni tidak perlu bersyari’at dalam menjalankan agamanya (Islam).

Apakah benar bahwa sesungguhnya yang dibunuh itu adalah Syekh Siti Jenar? Itulah awal polemik sesungguhnya. Sebab versi lain juga mengatakan pada dasarnya Syekh Siti Jenar tidak dibunuh, tetapi hidup sampai akhir hayat dalam ‘uzlahnya. Nama beliau adalah Abdul Jalil, dan kelak populer sebagai Syekh Siti Jenar atau Syekh Lemah Abang.

Apa yang diucapkan oleh Syekh Siti Jenar, kemudian dianggap kontroversial itu memang sama dengan pandangan al-Hallaj. Namun pandangannya tentang Manunggaling Kawulo Gusti, tidak bisa sama sekali diartikan sama dengan pantheisme atau Wahdatul Wujud. Terminologi “Ittihad” dalam pandangan al-Hallaj juga bukan berarti pantheisme atau Wahdatul Wujud. Ittihad berarti menyatu. Apa yang menyatu? Yang menyatu adalah syuhudnya, bukan wujudnya. Sebagaimana ketika Anda sedang bercermin, hati Anda secara otomatis mengatakan: “Itulah aku”. Sebuah ungkapan reflektif di luar kesadaran. Anda sebenarnya menyatu dengan gambar yang memantul dalam cermin itu. Tetapi ketika Anda katakan kepada banyak orang bahwa cermin itu adalah Anda sendiri, tentu salah. Sebab cermin ya cermin, Anda ya Anda. Kalau ada interaksi antara Anda dengan cermin, itu semata karena adanya pantulan yang Anda saksikan, dan yang pertama kali menyaksikan adalah hati Anda. Kesaksian itulah yang disebut syuhud. Jadi yang menyatu bukan wujudnya tetapi syuhudnya.

Karena itu, istilah Wahdatul Wujud adalah salah besar kalau dialamatkan kepada kedua belah pihak (baik Syekh al-Hallaj maupun Syekh Siti Jenar). Kalimat Wahdatul Wujud, muncul pertama kali dari lisan seorang ulama yang anti terhadap gerakan tasawuf yang menuduh Ibnu ‘Arabi itu musyrik karena menganut pantheisme atau Wahdatul Wujud. Ulama itu tidak lain adalah Ibnu Taimiyah.

Dalam seluruh naskah ulama salaf sufi, ternyata tidak satu pun kata Wahdatul Wujud ada di sana. Bahkan kalangan pemikir Islam modern dan pakar filsafat Islam masih “terjerumus” dalam terminologi tersebut, dengan mengklaim tasawuf identik dengan Wahdatul Wujud. Suatu kesalahan yang sangat rancu dalam pandangan kefilsafatan Islam.

Mengapa mereka demikian? Karena mereka tidak menyelami tasawuf secara ‘amaliyah, dan bahkan belum menghayati sampai pada tingkat ahwal yang hakiki. Apa yang mereka katakan tidak lebih dari pandangan ilmiah yang keliru belaka.

Mengenai drama eksekusi Syekh Siti Jenar, kalau toh kita toleran terhadap tragedi itu, semata hanya untuk menjunjung syari’at agar tidak lepas dari hakikat. Atau dengan kata lain jangan sampai orang yang memasuki dunia hakikat terkena tipu daya dan mengklaim dirinya telah sampai kepada Allah, padahal masih di “pintu gerbang”-Nya belaka. Hal yang sama, jangan sampai orang-orang syari’at sombong dengan fiqihnya, karena fiqih tanpa hakikat akan terjerumus dalam ke-zindik-an yang tragis.

Jadi, lebih baik kita vakumkan dulu sebelum ada penelitian yang lebih konprehensif mengenai sejarah Syekh Siti Jenar. Dengan begitu kita tidak segera menjatuhkan vonis kepada Walisongo.

Lebih dari itu, aliran kebatinan perlu juga merefleksi ulang terhadap ajaran yang tidak bersyari’at. Harus diingat bahwa syari’at itu bukanlah sarana mencapai hakikat. Karena ditinjau dari segi lain, syari’at itu juga hakikat dan hakikat adalah syari’at. Syari’at datangnya dari Allah, karena itu menjalankan syari’at itu merupakan perintah Allah, bukan sarana untuk mencapai Allah. Hakikat juga disebut syari’at, karena hakikat juga aturan-aturan Ilahi dalam jiwa manusia, karena itu posisinya sama, dan satu sama lain tidak boleh dipisahkan.

0 comments:

Post a Comment


M@M@h YUniawati....... Powered by Blogger.
  1. Menyesali sedalam-dalamnya tindakan dimasa lalu yang keliru, yang tidak bermanfaat dan tidak baik, dan mengembalikan harta orang yang telah diambil secara aniaya. Jika tidak bias mengembalikannya maka mintalah kerelaan dari sang empunya agar menjadi halal (analasa anebataken lampah kang karuhun, kang tanpa gawe, kang tanpa yukti, lawan arep angulihaken artaning wong kinaniaya. Yen tan kawasa angulihaken palampahana halal rewanging asawala, mangkadi i kang linaran atine abcik yang pasunga halal).
Design Downloaded from Free Blogger Templates | Free Website Templates